Rabu, 29 Oktober 2014

Hidup Bahagia Orang2 Beriman

Di antara anugerah terbesar Allah adalah kesempatan untuk hidup, tapi kita juga diberikan resep untuk beramal salih, berarti dia bahagia dalam hidupnya. Orang yang beriman dan beramal sholeh itu bahagia dalam hidupnya.

An Nahl 97: Barang siapa mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka pasti akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik, dan akan Kami beri balasan dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.

Berbuat kebaikan, baik laki2 maupun perempuan, semua terbuka untuk beramal sholeh. Syaratnya: ia orang beriman, maka pasti akan Allah berikan kebahagiaan di dunia dan akan mendapatkan balasan yang lebih baik daripada apa yang telah mereka perbuat.

Kalau kita mengaku beriman, tapi tidak bahagia, berarti ada yang eror dalam keimanan kita. “Man” (siapa) di ayat di atas, bisa berarti untuk apa saja, baik itu suatu laki-laki, perempuan, atau sekelompok manusia, atau suatu bangsa, maupun pribadi, bila beramal sholeh, pasti diberikan kebaikan oleh Allah.

Ulama berbeda2 dalam menafsirkan, apa yang dimaksud dg thoyyibah (kehidupan yang baik).
1. Menurut Ibnu Qoyyim, adalah rezeki yang halal dan thoyyib (baik). Selama kita diberikan rezeki yang halal dan thoyyib, terlepas itu banyak atau sedikit, itu adalah kebaikan dari Allah. Ukuran kebaikan itu hanya bila mendapatkan yang halal dan thoyyib.
Maka dari itu kita berdoa pada Allah agar diberikan rasa kecukupan atas hal2 yang halal saja.

2. Menurut Ali ibnu Abi Abbas, adalah al qonaa ‘ah (menerima/merasa cukup). Merasa cukup, ketika diberikan rezeki gaji yang halal, itu adalah kebaikan dalam hidup ini. Maka al qonaa ‘ah itu adalah kehidupan yang baik.

3. Menurut Ali ibnu Abi Tholib, adalah beriman. Kita bisa mengimpor teknologi dari luar negri, tapi kita tidak bisa mengimpor kebahagiaan.
Syarat kebahagiaan bukan sekedar berbuat kebaikan pada orang lain, tapi dia harus beriman. Para sahabat bukanlah orang2 kaya, tapi ketika mereka beramal sholeh, maka mereka orang yang benar2 bahagia.

4. Seseorang itu tidak mungkin hidup baik jika tidak hidup di syurga, maka ulama ini menafsirkan bahwa kehidupan yang baik hanya ada di syurga.

5. Seseorang yang beriman pada Allah dan beramal (memproduksi kebaikan2 dalam rangka taat pada Allah).

Setelah kita memahami pendapat2 ulama di atas, yang secara selintas kelihatannya berbeda, tapi sebenarnya tidak berbeda. Perbedaan yang bersifat fariatif, dan bukan perbedaan yang bersifat kontradiktif. Beriman adalah baik, bahagia adalah baik, qonaah adalah baik, rezeki yang halal adalah baik. Ketika kita menghadapi perbedaan, kita harus toleransi. Karena tidak semua perbedaan itu salah. Yang tidak boleh adalah perbedaan bersifat kontradiktif.

Harta benda yang sering dipahami oleh sebagian orang sebagai kebaikan, ternyata bukan satu2nya kebaikan. Ia hanya satu unsur dari sekian banyak kebaikan. Sehingga jangan sampai mengukur kebahagiaan seseorang dari hartanya. Orang kaya maupun orang miskin, sama2 bisa bahagia.

Kita mendapatkan hidup yang penuh ketenangan, anak2 yang sholeh, istri yang sholehah, suami yang bertanggung jawab, lingkungan yang damai, itu adalah kebaikan2. Janji Allah ini jangan sampai kita persempit dengan pemahaman yang tidak universal. “Saya kan sudah beramal, sudah sholat malam, tapi kenapa tidak juga kaya? Sedangkan orang yang tidak sholat bisa kaya?” Tidak! Jangan mengukur kebaikan sebatas dengan harta.

Kehidupan yang baik bagi orang yang beramal sholeh, pada dasarnya adalah kehidupan yang produktif dan indah. Hidupnya itu produktif. Untuk menunjukkan iman kita benar, maka kita harus produktif. Dunia melihat keindahan Islam dari perilaku kita.

Kehidupan yang baik tidak hanya dinikmati oleh seseorang. Ketika bapak yang sholeh, ibu yang sholehah memproduksi amal yang sholeh, itu bukan hanya kita yang menikmati, tapi juga dinikmati oleh orang lain. Kenapa demikian? Karena kehidupan yang baik itu adalah yang produktif. Manusia mana pun di dunia ini, menyukai produktifitas.

QS Al Arof 58: “Dan tanah yang baik, tanaman-tanamannya tumbuh dengan subur dengan seizin Allah,dan tanah yang tidak subur tanaman-tanamannya hanya tumbuh merana. Demikianlah Kami mengulangi tanda-tanda kebesaran (Kami) bagi orang-orang yang bersukur.”

Ibnu Abbas ra, pakar ilmu tafsir dari kalangan sahabat yang ditarbiyah langsung oleh Rasulullah, menarfsirkan ayat Al Arof 58: ini adalah perumpaan yang dibuat oleh Allah untuk orang beriman. Orang beriman itu thoyyib, dan amalnya itu thoyyib, seperti negri yang baik, yang buah2nya thoyyib, dinikmati oleh orang lain.

Keberadaan kita di rumah tangga kita dirasakan oleh istri dan anak2, keberadaan kita di keluarga besar juga dirasakan kebaikan kita. Di tengah2 masyarakat, kebaikan kita haruslah dirasakan oleh masyarakat. Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara juga, kebaikan kita dapat dirasakan oleh bangsa dan Negara ini.

Itulah, kehidupan yang baik adalah kehidupan yang produktif. Dinikmati bukan hanya oleh pelakunya saja, tapi juga oleh orang lain.
Allah di dalam ayat ini memberikan perumpaan orang beriman: dirinya thoyyib, amalnya juga thoyyib, seperti air hujan yang turun ke bumi.

Ada tanah yang bisa memanfaatkan air hujan sehingga bisa juga dimanfaatkan oleh yang lainnya, yaitu oleh manusia, tumbuhan, binatang.
Ada tanah yang bisa menyimpan air.
Ada tanah yang kering

Begitu juga manusia, dalam menyikapi petunjuk Allah:
Ada orang yang beriman yang manfaat untuk dirinya dan orang lain
Ada juga orang yang paham Islam tapi tidak memanfaatkan ilmunya untuk dirinya, apalagi untuk orang lain.
Ada juga orang yang menolak Islam sehingga tidak berguna bagi dirinya dan tidak juga bagi orang lain.

Semoga kita dimudahkan Allah untuk beramal sholeh dengan keimanan dan mendapatkan kehidupan dunia dan akhirat yang baik. Aamiin..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar