Kamis, 30 April 2015

Sunnatullah Terhadap Orang Yang Meninggalkan Petunjuk Allah

QS Thaha 124: Wa man a’rodho ‘an dzikri, fainna lahuu ma’iisyatan dhonkaa,
(Dan barang siapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sungguh, dia akan menjalani kehidupan yang sempit)

Ketika ada orang yang tidak mengikuti petunjuk Allah, itulah yang disebut al I’rodh.

Rasulullah SAW bersedih, sangking sedihnya, Nabi curhat kepada Allah. Karena umatnya meninggalkan Al Quran, di dalam QS Al Fuqan 30.

Terjemah QS Al Furqan 30: Dan Rasul (Muhammad) berkata, "Ya Tuhanku, sesungguhnya kaumku telah menjadikan Al Quran ini diabaikan.”

Apa tanda bahwa seseorang melelaikan Al Quran?
1. Tidak membacanya
2. Tidak mendengarkannya
3. Tidak merenunginya
4. Tidak menghafalkannya
5. Tidak mengamalkannya
6. Tidak mendakwahkannya
7. Tidak berjihad dengannya.

Allah memvonis orang2 yang seperti itu, kehidupannya akan sempit.

Menurut Ibnu Katsir, yang dimaksud dengan “berpaling dariKu” adalah: seseorang yang menentang perintahKu dan menentang kitab suci yang Aku turunkan kepada RasulKu.

Itulah yang disebut sebagai ‘I’rodh.

Dhonka, maknanya adalah sempit di dunia. Siapa pun di dunia ini, ketika berpaling dari hidayah Allah, maka kehidupannya sulit, sempit, walaupun kelihatannya dia penguasa di dunia, walau pun kelihatannya dia tenar popular. Tidak sedikit di dunia ini orang yang kelihatannya tenar, popular, tidak kekurangan harta, tapi mereka bunuh diri.

Sebagian orang yang sering mendahulukan realitas yang bukan berdasarkan pemahaman Islam, akan mengatakan, “mana buktinya bahwa orang yang meninggalkan Al Quran itu kehidupannya sempit?”

Umat Islam jangan tertipu dengan kehidupan dunia ini yang memang berisi kesenangan2 yang menipu.

Orang beramai2 untuk menjadi popular, mencari harta, dan sebagainya, padahal orang2 yang seperti itu, biasanya lari ke narkoba, gonta ganti pasangan, dsbnya. Karena kehidupan mereka itu sempit. Karena mereka benar2 sangat rakus, serakah, tamak, akan kehidupan. Sudah diberikan harta benda, masih kurang banyak. Sudah diberikan pangkat, masih kurang tinggi. Sudah diberikan kekuasaan, ingin selama2nya berkuasa. Sudah diberikan popularitas, masih ingin lebih lagi. Agar cepat berkuasa, cepat kaya, cepat popular, maka ia cari jalan pintas, sehingga sempitlah hidupnya.

Orang2 yang memilih petunjuk selain Al Quran dengan alasan, kebebasan berpikir, akan binasa. Orang yang gila dengan harta benda, akan hancur bersama hartanya, seperti Qorun. Orang yang gila dengan kekuasaan, maka ia akan hancur bersama kekuasaannya seperti Firaun.

Mestinya kita bersikap seperti para Rasul, yang menyadari bahwa harta itu adalah ujian, kekuasaan itu ujian, dsbnya. Ketika ia tahu menjadi penguasa itu adalah amanah, ia akan berusaha menjalankan amanah itu dengan tidak mencekik leher rakyatnya.

Pemimpin yang tidak mempunyai wacana yang luas, tidak mempunyai kebesaran jiwa, mudah tersinggung, mudah marah, dsbnya, maka itu adalah ma’isyatan dhonka. Mereka tidak punya ketenangan, tidak punya salaamatus shodr. Takut digeser temannya, takut kekuasaannya dijatuhkan, dsbnya.

Berbeda dengan orang yang mendapat hidayah Allah, seperti Umar bin Khattab. Ketika dicari oleh Raja yang Kafir, mana istananya? Ternyata Umar bin Khattab tidur di atas tanah. Lalu Raja Kafir itu berkata, “kamu berbuat adil sehingga bisa tidur yang tenang.”

Sekarang ini banyak orang yang tidak bisa tidur tenang, padahal ia meningap di hotel mewah, Itu tandanya bahwa kehidupannya sempit (ma’iisyatan dhonkaa).

Itu kehidupan saat di dunia.

Lalu bagaimana nasib mereka saat di akhirat?

Terjemah QS Thaha 124-126:
124. dan Kami akan mengumpulkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta.
125. Dia berkata, "Ya Tuhanku, mengapa Engkau kumpulkan aku dalam keadaan buta, padahal dahulu aku dapat melihat?"

126. Dia (Allah) berfirman, "Demikianlah, dahulu telah datang kepadamu ayat-ayat Kami, dan kamu mengabaikannya, jadi begitu (pula) pada hari ini kamu diabaikan.”

Ini adalah sunnatullah, bahwa tidak hanya sesat dalam kehidupan di dunia, tapi juga buta di akhirat.

Kaidah “Pembalasan itu berbanding lurus dengan amal.”

Ketika dulu di dunia dia tidak mau melihat petunjuk Allah, maka di akhirat nanti ia akan buta.

Islam berada di satu lembah, sedangkan muslim berada di lembah yang lain. Ini tidak boleh terjadi.

Apa yang terjadi bila Al Quran tidak dijadikan petunjuk? Maka setan akan menjadi temannya.

Kaidah “Barangsiapa yang berpaling dari petunjuk Allah, maka Allah menjadikan setan sebagai temannya.”

Sehingga bila ia melihat, maka ia melihat sesuai selera setan. Jika ia mendengar, maka sesuai selera setan. Ketika ia membuat kebijakan, maka kebijakannya sesuai selera setan. Ketika ia mendidik, maka pendidikannya sesuai selera setan, dsbnya.

Kalau kita ingin menjadi bangsa yang maju, yang berperadaban, maka jauhilah setan, dan kita harus komitmen dengan petunjuk Allah.

Maka kurikulum pendidikan harus mengacu pada petunjuk Allah. Kita tidak boleh sombong terhadap petunjuk Allah.

Jadi makna “setan selalu bersama dirinya, tidak akan lepas” maka setan selalu menjadi teman karibnya. Setan menjadikan ia memilih hal2 yang buruk2 saja, dan setan dan dirinya akan sama2 masuk neraka.

Inilah kajian yang sangat penting tentang petunjuk dan kesesatan.


Semoga kita semua diberi petunjuk oleh Allah SWT dan dijauhkan dari kesesatan dalam kehidupan ini.

Rabu, 29 April 2015

Sunnatullah Terhadap Orang Yang Mengikuti Petunjuk

Kalau ada hamba yang mengikuti petunjuk Allah, akan seperti apa dia?

1. Kehidupan yang baik.
Ini adalah jaminan Allah. Dan jaminan Allah itu adalah sebuah keniscayaan.

Terjemah QS Thaha 123: Jika datang kepadamu petunjuk dari-Ku, maka ketahuilah barang siapa mengikut petunjuk-Ku, dia tidak akan sesat dan tidak akan celaka.

Sebagian ulama menafsirkan bahwa yang dimaksudkan dengan petunjuk2 Allah adalah kitab2 yang diturunkan kepada semua Rasul, apakah itu Zabur, Taurat, maupun Injil (sebelum kitab2 itu diselewengkan oleh pengikut2nya).

Namun sementara sebagian ahli tafsir lainnya menafsirkan, bahwa yang dimaksud dengan petunjuk Allah dalam ayat ini adalah Al Quran. Ibnu Abbas menjelaskan, Allah akan menjauhkan orang yang mengikuti Al Quran dari sesat di dunia dan siksa di neraka.

Tetapi setelah kita renungi secara mendalam, faktanya, petunjuk Allah itu universal, mencakup seluruh petunjuk2 Allah, termasuk kitab2 sebelumnya, dan Al Quran adalah kitab yang terlengkap. Sehingga bila umat Islam sudah memahami Al Quran, berarti ia juga sudah memahami Injil, Zabur, Taurat.

Allah katakan di sini, Barang siapa mengikuti petunjukKu, maka dia tidak akan sesat. Di dalam Bahasa Arab, man ‘siapa saja’ itu bisa merujuk kepada satu orang, dua orang atau sekelompok orang. Ini artinya, siapa pun, apakah satu orang, apakah suami istri, ataukah masyarakat sampai sebuah bangsa, jangan sampai karena berbeda suku bangsa atau batas Negara, ia berselisih. Karena Al Quran itu tidak dibatasi oleh wilayah. Ia adalah petunjuk bagi seluruh umat manusia.

Rumah tangganya baik, bermasyarakatnya baik, berbangsa dan bernegaranya baik. Tidak ada di dunia ini, yang pemimpin dan rakytanya mengikuti petunjuk Allah, kecuali kehidupan mereka pasti baik.

Terjemah QS An Nahl 97: Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.

Jadi yang harus kita kejar2 dalam kehidupan ini adalah mengikuti petunjuk Allah.

Yang dimaksud dia tidak sesat, adalah dia tidak akan sesat di dunianya. Rumah tangganya benar, pendidikannya benar, dsbnya. Dan di akhirat, dia tidak akan menderita. Karena Al Quran adalah kitab suci yang menuntun seluruh umat manusia tidak akan menyesatkan. Dan dia sendiri, Al Quran, yang akan menemani pembacanya di akhirat nanti.

Hadist, “Bacalah Al Quran, karena sesungguhnya Al Quran akan datang di hari kiamat nanti bagi teman2nya, yaitu Ahli Quran.”

Maka dari itu kaum muslimin dengan ulamanya, harus bekerja keras menjaga umat ini agar tidak menyimpang. Ini menjadi skala prioritas dalam kepemimpinan umat Islam. Skala prioritas dalam rumah tangganya, dalam berbangsa dan bernegaranya, adalah menjaga tauhid.

Kita boleh menyukai batu akik, sepanjang harganya juga masih masuk akal, tapi kalau siang malam menggosok batu dan bahkan menyembah batu, ini adalah kesesatan.

Atau seseorang yang cintanya, kagumnya terhadap gurunya, seolah2 menganggap gurunya maksum, bahkan menganggap kedudukan gurunya lebih tinggi dari Rasul, ini adalah sesat.

Atau ada juga yang tidak menyukai jihad, kecuali jihad yang memang salah, tapi karena semata2 jihad yang dilakukan bukan jihad yang dilakukan jamaahnya, maka ini juga sesat.

Jangan sampai kalau yang berbuat salah adalah teman dekat kita, lalu kita bela.

Sabda Rasulullah, “Tolonglah saudara2mu yang mendzholimi dan terdzholimi” Bagaimana menolong saudara yang mendzholimi ya Rasulullah?”
Yaitu

Apa yang dimaksud di dalam firman Allah, “maka dia tidak sesat dan tidak celaka”?

Sebagian ulama menyampaikan bahwa celaka adalah siksa di neraka. Tapi di sini Al Imam Ar Rozi menambah lagi penjelasan, konteks ayat ini menunjukkan bahwasanya kecelakaan yang dimaksudkan adalah menyeluruh, yaitu bisa di dunia dan bisa di akhirat.

Ini cara yang lebih tepat, yaitu bila ayat itu lebih umum, biarkan Al Quran itu tetap umum, jika memang tidak disebutkan pembatasannya. Pemahaman yang seperti ini lebih tepat.

Tidak sesat dan tidak celaka, bagi orang2 yang mengikuti petunjuk Allah. Ini menafikkan seluruh bentuk sesat dan seluruh bentuk celaka.

Mungkin ada yang bertanya, “tapi wahai ustadz, ada orang yang kelihatannya susah dalam kehidupannya. Dia mengikuti Al Quran, tapi dikucilkan, dibenci, tapi rugi.” Jawabannya: memang, bisa jadi orang yang mengikuti petunjuk Allah akan terlihat rugi, kalah, dsbnya. Tapi yang dimaksud dengan rugi di sini adalah kerugian di akhirat. Mungkin dia tidak disukai karena dia komitmen terhadap Islam.

Atau, bisa juga kesesatan itu terjadi karena sebab yang lain.

Kenapa dia sesat dan hina? Bukan karena dia mengikuti Al Quran, bisa jadi karena ada sesat yang lain, misalnya karena ia melakukan kesalahan yang tidak ada hubungannya dengan Islam, seperti korupsi, zina, dsbnya.

Faktanya, yang tidak bisa kita pungkiri, bahwa orang yang mengikuti Al Quran, pasti mendapatkan kehidupan yang lebih baik.

Barangsiapa yang beramal sholeh baik laki2 atau pun perempuan, sedangkan ia beriman, pasti ia akan mendapatkan kehidupan yang baik, dan di akhirat akan mendapatkan yang lebih baik lagi.


Al Quran adalah petunjuk Allah, dan kalau orang itu disebut mengikuti petunjuk Allah, seudah barang tentu dia beriman, dan dia mengamalkan amal sholeh. Jadi jangan ada lagi orang yang mengatakan bahwa dia tidak mau komitmen kepada Islam karena takut dimusuhi oleh musuh2 Allah.

Selasa, 28 April 2015

Petunjuk (Hidayah) dan Kesesatan (Dholal) (2)

Terjemah QS Al Baqarah 120: Katakanlah: "Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar)". Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu.

Ini adalah ancaman Allah. Karena pendidikan yang benar itu kalau bukan terdiri atas janji, maka ia adalah ancaman. Ketika manusia diberikan ayat2 tentang syurga saja, tapi tidak diberikan neraka, bisa2 manusia tidak takut terhadap neraka, begitu juga jika hanya diberitakan tentang neraka saja, maka manusia seolah2 tidak punya harapan tentang surga.

Pelajaran yang bisa diambil dari ayat di atas:

1. Allah tidak mau memberikan pertolongan, tidak mau memberikan keberpihakan, jika orang itu tidak lagi mengikuti petunjuk Allah.

Sebesar apa pun orang yang mendukungnya, sebanyak apa pun orang yang menolongnya, tapi kalau tidak ditolong Allah, maka ia akan kecil.

Contohnya, siapa yang berani menentang Firaun saat itu? Tapi ketika Firaun sudah ditenggelamkan di tengah lautan, mana itu penolong2 Firaun?

Firaun2 di zaman ini, ia lupa bahwa dirinya adalah seorang hamba, tapi dia memposisikan dirinya seolah2 dia tuhan. Diktator2 yang menjadikan dirinya seolah2 disembah, diikuti. Barangsiapa yang mengikuti selain Allah, maka dia tidak akan mendapat pertolongan Allah.

2. Petunjuk itu adalah Islam.
Islam adalah yang wajib diikuti. Apa ancaman Allah bagi orang yang mencari petunjuk selain Allah?

Al Imam Ibnu Katsir dalam Tafsir bil ma’tsur, mengatakan bahwa ayat ini merupakan peringatan yang keras, ancaman yang keras bagi umat Islam, agar tidak mengikuti ajaran yahudi dan nashara setelah diberi petunjuk yang jelas (Al Quran).

Kita sudah diberikan Al Quran, maka jangan lagi menngikuti ajaran agama lain. Pada dasarnya, dalam ajaran beragama, adalah al ittibaa’ (mengikuti Rasulullah). Larangan mengikuti ajaran agama lain, ini dalam hal apa saja.

Siapa yang tidak tahu Umar bin Khattab? Begitu beliau di tangannya ada lembaran Taurat, Rasulullah mengatakan, “buang itu Umar. Seandainya Musa as, hidup saat ini, beliau pasti mengikutiku.”

Padahal tidak ada yang meragukan keimanan Umar bin Khattab, tapi memegang lembaran Taurat saja dilarang oleh Rasulullah. Apalagi kita yang hidup di zaman seperti ini.

Bagaimana kalau ada orang yang beragama Islam, tapi mengikuti Yahudi, Nashara? Berarti dia termasuk orang2 dalam dhzolim. Dzholim itu artinya, tidak mengikuti sesuatu yang tidak pada tempatnya. Seharusnya ia mengikuti Al Quran, tapi ia malah mengikuti yang lainnya.

3. Kita semua kaum muslimin tidak diperbolehkan mengikuti golongan orang2 yang bathil.

Jadi jangan sampai, hanya karena kebathilan dibungkus dengan retorika yang begitu hebat, sehingga kita silau, jangan sampai diikuti. Karena bathil tetaplah bathil. Jangan sampai mengikuti bathil hanya karena yang mengucapkan adalah orang yang disebut ulama, atau karena orang itu disebut hebat.

4. Tidak ada kesedihan, tidak ada ketakutan, bagi orang yang mengikuti petunjuk Allah. Sehingga orang2 yang paling bahagia di dunia dan di akhirat adalah orang2 yang mengikuti petunjuk Allah.

Ini adalah kaidah kehidupan yang sudah pasti benar, karena datang dari Allah SWT, yang berbunyi Tidak ada kesedihan, tidak ada ketakutan, bagi orang yang benar2 mengikuti pe

Terjemah QS Al Baqarah 38: maka barang siapa yang mengikuti petunjuk-Ku, tidak ada kekhawatiran atas mereka, dan mereka tidak bersedih hati.

Ibnu Katsir mengatakan: barangsiapa yang benar2 mengikuti kitab2 suci yang diturunkan oleh Allah, yang mengikuti para Rasul utusan Allah SWT, maka mereka tidak akan takut.

Ketika Umat Islam mengikuti RasulNya, maka dijamin tidak akan ada ketakutan. Orang takut tidak dapat pekerjaan, takut miskin, dsbnya itu sebenarnya adalah hal2 yang terjadi di masa yang akan datang. Sedangkan hal2 yang terjadi di masa yang akan datang itu adalah ghod, dan ghod itu adalah apa yang akan terjadi di akhirat.

Kalau sedih, itu adalah hal yang terjadi di masa lalu. Sedangkan khawatir (takut) itu adalah apa yang terjadi di masa yang akan datang.

Tidak akan takut karena Allah akan memberikan ganjaran di akhirat, dan di dunia mereka tidak akan bersedih. Mungkin mereka tidak akan mendapat kemenangan, kursi jabatan, tapi mereka tidak sedih, karena bukan itu obsesi mereka. Obsesi mereka adalah akhirat, menjadikan surga sebagai cita2 tertingginya.

Doa yang dibaca oleh sebagian imam kita dalam doa qunut: jangan sampai musibah itu menimpa imannya, dan jangan sampai popularitas, dunia, harta, menjadi cita2 tertingginya, dan jangan sampai neraka menjadi tempat kembali, tapi surgalah yang menjadi tempat kembali, jangan Engkau hadirkan pemimpin bagi kami pemimpin yang tidak takut pada ajaranMu ya Allah.

Inilah doa orang2 yang jujur.

Semoga kita semua diberi petunjuk oleh Allah SWT, sehingga kita semua tidak takut dan tidak bersedih karena kita sudah dijamin oleh Allah, dan jaminan Allah itu sudah pasti benar.


Senin, 27 April 2015

Petunjuk (Hidayah) dan Kesesatan

Kali ini kita akan bicara tentang Sunnatullah (kaidah kehidupan yang telah ditentukan oleh Allah) dalam masalah petunjuk (hudaa) dan kesesatan (dholaal).

Ketika seseorang diberikan nasehat oleh saudaranya, dia mengatakan, “saya ini belum mendapatkan petunjuk.”

Pertanyaannya, “apakah benar ia belum mendapatkan petunjuk, atau memang ia tidak mau.”

Terjemah QS Al Baqarah 120: Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: "Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar)".

Yahudi dan Nashara tidak akan ridho kepadamu wahai Muhammad, berarti juga tidak akan ridho terhadap Al Quran dan Islam. Mereka tidak menginginkan eksistensi Islam. Ketika mereka berkuasa, mereka akan memadamkan cahaya Allah. Sampai kapan mereka tidak akan ridho? Yaitu sampai kamu mau mengikuti pola pikir mereka. Sesungguhnya petunjuk Allah adalah petunjuk yang sebenarnya.

Ini mengandung sekian banyak kurikulum kehidupan:

1. Petunjuk Allah adalah petunjuk yang sebenarnya.
Siapa pun yang mengikuti petunjuk Allah dalam hidup ini, baik itu dalam hal berkeluarga, bermasyarakat, bernegara, dalam hal pendidikan, politik, ekonomi, dsbnya, maka ia akan benar2 mendapat petunjuk. Sementara arahan yang bukan dari Allah, adalah bukan petunjuk, meskipun seluruh dunia mengatakan bahwa itu petunjuk.

QS Yunus 32: famaadza ba’dal haqqi illadh dholaal (maka tidak ada sesudah kebenaran itu, melainkan kesesatan)

Selama dia mengikuti petunjuk Allah, itulah petunjuk yang sebenarnya.

Inna hudaLLahi huwal huda (sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk yang sebenarnya). Di sini kedua2nya menggunakan isim makrifat. Menunjukkan untuk membatasi, sehingga tidak ada petunjuk selain petunjuk Allah SWT.

2. Ketika disebut petunjuk Allah atau Islam, maka seluruhnya adalah petunjuk.
Jangan sampai seperti ini. Ada orang yang mengaku beragama Islam, dia mau mengakui sholat, haji, puasa, menikah, tapi dia tidak mau politiknya, jihadnya, ekonominya, dsbnya. Ketika politik, ia cari jalur lain. Ketika ekonomi, dia cari jalur lain.

3. Petunjuk Allah pasti benar dan menyeluruh.
Ketika kita mengetahui dan meyakini petunjuk Allah, maka di antara sifatnya adalah PASTI BENAR. Tidak ada yang relatif dalam ajaran Islam. Kecuali bila kita mengatakan, ini pemahaman saya tentang Islam, maka itu bisa benar dan bisa juga salah.

Itu sebabnya kenapa kita selalu minta kepada Allah agar selalu diberikan jalan yang lurus di dalam sholat. Ihdinash shiroothal mustaqiim. Padahal kita sudah beragama Islam, kenapa masih minta ditunjukkan jalan yang lurus?

Karena kebutuhan kita terhadap ajaran Islam, tidak sebatas ketika di awal kita masuk Islam, tapi kebutuhan kita terhadap ajaran Islam adalah kontinyu. Kita dalam kondisi apa pun membutuhkan petunjuk Allah. Dan petunjuk Allah itu adalah menyeluruh. Jangan sampai ketika meminta petunjuk Allah, yang ada di kepala kita semata2 hanya dalam hal meminta rezeki saja.

Jangan sampai ia membaca surat Al Waqiah dalam rangka meminta rezeki, tapi kandungan surat itu sendiri tidak diamalkannya.

Di antara petunjuk Al Quran dalam ayat ini dikatakan, “walan tardhaa ankal yahuudu walan nashooro.”

Ini memberikan pemahaman kepada kita tentang karakter yahudi dan nasrani, siang malam mereka berpikir dan bekerja, bagaimana umat Islam mengikuti mereka dalam pola pikir, pola hidup, militer, ekonomi dsbnya.

4. Kita diajarkan oleh Allah untuk waspada jangan sampai mengekor, menjadi subordinasi Yahudi dan Nashara.

Petunjuk Allah itu bernama Dienul Islam.

Terjemah QS Al Fath 28: Dialah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang benar agar dimenangkan-Nya terhadap semua agama.

Jadi petunjuk Allah itu, yaitu ajaran Islam yang dibawa oleh Rasulullah SAW, adalah petunjuk yang benar. Sehingga tidak boleh ada orang mengaku beragam Islam tapi ragu terhadap Islam. Tidak sedikit ajaran Islam yang dia ragukan, dan dia menuduh orang2 yang mengikuti ajaran Islam sebagai radikal dsbnya.

Ketika Islam adalah agama petunjuk, berarti risalah kita umat Islam adalah risalah petunjuk. Maka berbahagialah umat manusia ketika umat Islam memimpin dunia, karena mereka akan dipimpin untuk menuju kepada Allah SWT. Apalagi agama adalah nasehat. Ketika ada yang berbuat salah, akan diingatkan. Ketika ada yang melenceng, maka akan diluruskan, dsbnya.

Tapi ingat, risalah ini yang merupakan petunjuk Allah, jangan disangka akan diterima oleh seluruh manusia.

Ketika Allah mengutus RasulNya untuk membawa ajaran yang benar, orang2 kafir tidak menyukainya.

Kebencian itu adalah sebuah diskursus aqidah. Orang Islam menyintai Iman, Islam, Al Quran, dan Sunnah, itu adalah hadiah dari Allah.

Kita orang Islam harusnya karakternya adalah mengikuti Islam, bukan Islam yang kita buat agar mengikuti selera kita, dengan alasan realistis. Siapa yang lebih tahu tentang realitas, melebihi dari Allah yang menciptakan kita. Tidak kita pungkiri Indonesia memiliki kekhasan, tapi kekhasan itu yang harus mengikuti ajaran Allah. Kalau ajaran Allah yang dipaksakan mengikuti kekhasan suatu bangsa, maka akan hancur ajaran ini.

Tidak mungkin Sang Pencipta harus mengikuti hambaNya.

Jangan sampai ada sebuah dikotomi antara kebangsaan dan Al Haqq (kebenaran).

Bagaimana kalau ada orang yang meninggalkan petunjuk Allah?

Barangsiapa meninggalkan petunjuk Allah, maka Allah akan membiarkan. Sebenarnya Allah sayang kepada seluruh makhlukNya, tapi mereka yang tidak mau. Sebagaimana Nabi mengatakan, seluruh umatku masuk syurga, kecuali yang tidak mau. Siapa yang tidak mau, ya Rasulullah? Barangsiapa yang mengikuti petunjukku maka dia masuk syurga, dan yang tidak mau mengikuti petunjukku itu yang tidak mau masuk syurga.


Semoga kita semua dimudahkan oleh Allah SWT menerima petunjuk Allah. Aamiin.

Minggu, 26 April 2015

Edisi Akhir Pekan 26 April 2015: Jihad di antara Realita dan Idealita

Di antara problematika umat manusia adalah tidak mengembalikan terminologi ke istilah aslinya. Ketika istilah2 Islam ini tidak dikembalikan ke dalam sumber aslinya, maka akan terjadi kerancuan dalam memahaminya. Akan terjadi kemusykilan, ketika realita yang tidak sesuai dengan idealita.

Jihad adalah kata yang berasal dari jim, ha, dan dal, yang maknanya adalah letih, capek, dan sulit. Artinya, orang yang melakukan jihad itu letih, capek, berat, sulit. Sudah berjihad, tapi kemudian dicap teroris dan sebagainya.
Juga di antara makna lainnya adalah kesungguhan dan kekuatan. Jadi orang yang berjihad itu adalah orang yang bersungguh2.

Memahami jihad jangan berdasarkan makna Bahasa saja. Karena kalau memahami secara bahasa saja, bisa berbahaya. Seperti misalnya kalau memahami sholat hanya secara Bahasa saja, sholat yang secara Bahasa bermakna doa itu, maka orang itu akan mengatakan bahwa saya sholat cukup dengan berdoa saja. Atau kalau memahami Islam dari segi Bahasa saja, maka Islam dimaknai secara berserah diri saja. Ini bahaya.

Makna jihad secara istilah adalah mendayagunakan seluruh upaya potensi kita untuk memerangi orang kafir, tujuannya adalah menegakkan kalimatullah. Ini penting, tujuannya bukan untuk dikatakan sebagai pemberani.

Dari dua pendekatan ini. Bisa kita pahami bahwa jihad punya medan/lapangan yang luas. Sehingga selain tujuan untuk perang, tapi juga berkaitan secara umum/luas, dalam rangka taat pada Allah SWT.

Ini bisa dilihat di hadist, bahwasanya Nabi bersabda, “orang yang berjihad adalah orang yang bersungguh2 agar dirinya itu benar2 taat kepada Allah.”

Ketika saudaraku bersungguh2 agar anaknya menjadi anak yang sholeh, ini juga termasuk makna jihad.

Ketika saudaraku berdakwah agar manusia mengikuti ajaran Allah, dengan cara bersungguh2, itu juga termasuk jihad.

Ketika saudaraku ada yang bersungguh2 mendirikan sholat di masjid, maka itu juga termasuk jihad.

Tapi jangan sampai menyingkirkan makna jihad yang perang. Yang mengatakan bahwa makna jihad itu bersungguh2, tapi meniadakan arti perang, maka dia telah mendholimi makna jihad. Karena ulama tafsir sepakat bila ada makna jihad yang dipertegas dengan fi sablillah, itu maknanya adalah perang.

QS Ash Shaf 10-11:
10. Wahai orang-orang yang beriman! Maukah kamu Aku tunjukkan suatu perdagangan yang dapat menyelamatkanmu dari azab yang pedih?

11. (yaitu) kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagi kamu, jika kamu mengetahui.


Tapi bila kata jihad dilepas tidak ada kata “fi sabilillah,” maka jihad yang dimaksud itu adalah bersungguh2 secara umum seperti di dalam QS Al Ankabut 6.

Terjemah QS Al Ankabut 6: Dan barang siapa berjihad, maka sesungguhnya jihadnya itu untuk dirinya sendiri.

Ketika kita bersungguh2 dalam mencari nafkah, maka manfaat kerja sungguh itu akan kita sendiri yang merasakan.

Ketika kita bersungguh2 menuntut ilmu, maka kita sendiri yang akan mendapatkan manfaatnya, dstnya.

Membahayakan dalam kehidupan beragama dan juga berbangsa dan bernegara, yaitu suatu ungkapan yang dinisbahkan kepada Rasulullah, bahwa setelah pulang dari Perang Badar itu disebut sebagai jihad yang kecil, “kami baru pulang dari jihad yang kecil, dan menuju jihad yang besar, yaitu melawan hawa nafsu.”

Ungkapan ini sering disampaikan oleh para penceramah bahkan di TV, sebagai sebuah hadist. Ini sangat membahayakan, karena:
1.    Orang ini berbohong kepada para Nabi.
Barangsiapa yang membohongi aku, maka tempatnya adalah neraka. Padahal itu ungkapan dari Ibrahim ibnu Abi Ablah. Dia adalah orang yang berbohong. Ulama2 hadist menerangkan hal ini, seperti Imam Nawawi, Imam Suyuthi, dll.
2.    Al jihad adalah puncak perjuangan di dalam Islam, tapi di dalam ungkapan ini disebut sebagai kecil.

Pertanyaan #1. Sebagian besar orang mungkin tidak paham bahwa itu hanya ungkapan, bukan hadist. Lalu bagaimana tingkatan jihad itu? Apakah di Negara yang adem ayem, atau di Negara yang sedang bergejolak seperti Palestina?

Selain kita memahami Al Quran dan Sunnah, kita juga harus mengenali medan/lapangan.

Kita harus bisa membedakan jihad antara di Palestina dengan di Indonesia saat ini.

Ketika Palestina, bumi Allah, bumi kaum muslimin, kiblat pertama umat islam, dirampas dengan senjata, maka kita juga angkat senjata.

Begitu juga ulama kita di Indonesia ketika dijajah dengan senjata pada zaman dulu, maka ulama kita juga angkat senjata.

Ketika saat ini umat Islam di Indonesia diperangi dengan ghozwul fikri (perang pemikiran), maka cara melawannya juga dengan pemikiran, bukan dengan angkat senjata.

Pertanyaan #2. Pemuda2 kita ada yang sedang semangat untuk menuntut ilmu, sehingga ketika mereka salah masuk ke pengajian, mereka mengangkat senjata di negri yang aman.

Bagaimana dengan kondisi di zaman Rasulullah dan sahabat2?

Jawab:
Keinginan bangsa ini, terutama pemuda pemudi kita untuk belajar Islam, bergabung dengan jamaah pengajian, sudah patut kita syukuri. Tapi keinginan berbuat baik saja tidak cukup. Harus dituntun agar tidak salah jalan. Di sinilah kewajiban para ulama memberikan pencerahan.

Agar tidak terjebak, maka:
1.    Kita harus tahu kualitas seorang ustadz.
Pada zaman dahulu, bila ada orang mengatakan, “Qoola Rasulullah (berkata Rasulullah)”, maka orng2 tidak akan segera percaya. Akan ditanyakan siapa sanadnya.
Maka dari itu di Al Quran banyak dikatakan, yas aluunaka, yang artinya: mereka menanyakan kepadamu (Muhammad).

Semua orang harus ada gurunya. Nabi saja berguru melalui jibril, jadi jangan percaya kepada orang yang mengatakan bahwa dia belajar sendiri.

2.    Bunuh diri di dalam perang adalah konyol.
Walau begitu, perlu diteliti dulu, apakah orang yang meletakkan bom di tubuhnya itu adalah sebuah tindakan bunuh diri atau bukan. Bom bunuh diri itu arti aslinya adalah bom syahid, tapi karena ada orang2 yang tidak suka dengan istilah Islam, maka diganti dengan bom bunuh diri. Tapi konteks bom syahid ini adalah ketika di daerah perang.

Ketika ada orang yang mengatakan, kasihan orang yang berjihad ini, dengan berkata, “kasihan orang ini menceburkan dirinya dalam kebinasaan,” seperti QS Al Baqarah 195: “dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan,”
Ada seorang Sahabat yang berdiri dan mengatakan, “ayat itu turun justru ketika kita sahabat Anshar sibuk dengan harta benda kita dengan meninggalkan jihad.”
Justru ayat itu untuk dikatakan kepada orang yang meninggalkan jihad.

Tapi realitasnya di saat ini,adalah bom sana bom sini, dan yang mati bukan hanya orang2 kafir tapi juga saudaranya yang muslim.

Negara kita bukan negri yang sedang berperang, jadi harus memahami medan.


Pertanyaan #3. Tadi aksi tersebut dikatakan karena mereka katanya tidak rela ada orang kafir. Sebenarnya, apa saja tingkatan orang kafir itu?

Jawab:

1.    Kafir harby (kafir yang memerangi kaum muslimin). Seperti di Palestina sekarang.
2.    Kafir dzimmy (kafir yang dilindungi oleh pemerintahan Islam, tapi karena dia dilindungi, dia juga wajib membayar jizyah, dan itu adil, karena muslim yang kaya juga wajib bayar zakat.)

Jadi yang diperangi adalah yang memerangi Nabi SAW. Sedangkan yang kafir dzimmy itu tidak boleh diganggu, tidak boleh dipaksa masuk Islam. Sehingga mereka merasa aman.

Jadi jangan sampai umat Islam dan umat lainnya ditakut2i seolah2 kalau umat yang Islam yang memimpin akan terjadi kekacauan.

Kita hidup di zaman modern ini ada kekhasan. Yaitu pertarungan kita adalah pertarungan media. Siapa yang menguasai media, maka dia menguasai dunia.

Jihad yang suci dikaitkan2 dengan radikal, teroris. Maka ulama berkewajiban memberikan penjelasan agar tidak terjadi kesalahan dalam memahami jihad ini.

Apa bedanya orang berjihad dengan teroris?
1.    Jihad itu membangun, sementara teroris itu menghancurkan.
Rasulullah dan diteruskan hingga ke ulama2 kita, ketika angkat senjata melawan Belanda adalah dalam rangka membangun Indonesia.
Ketika Belanda, Inggris menjajah, mereka menghancurkan negeri yang dijajah, jadi siapa yang teroris sebenarnya?

2.    Jihad itu menyatukan umat, teroris itu memecah belah umat
Jihad fi sabilillah dikaitkan dalam Al Quran dengan membebaskan orang2

QS An Nisa 105: Mengapa kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan (membela) orang yang lemah, baik laki-laki, perempuan maupun anak-anak yang semuanya berdoa, "Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami dari negeri ini (Mekah) yang penduduknya zalim. Berilah kami pelindung dari sisi-Mu, dan berilah kami penolong dari sisi-Mu"

Itulah beda antara jihad dengan teroris. Teroris memecah belah umat. Bangsa Indnesia mayoritas beragama Islam, pemerintah dan rakyatnya sama2 beragama Islam. Mereka demo agar pemerintah dan rakyat saling berantam. Siapa teroris yang sebenarnya?

Innamal mukminuuna ikhwah. (Sesungguhnya setiap orang beriman itu bersaudara)

Itulah bedanya antara orang berjihad dengan teroris.


Jadi kalau ada orang yang mengangkat bendera jihad, tapi kok kerjanya memecah belah umat, mengafirkan orang yang bukan golongannya, maka itu bukan jihad.

Sabtu, 25 April 2015

Edisi Akhir Pekan 25 April 2015: Membuka Makna Daulah Khilafah

Memahami istilah yang berhubungan dengan agama Islam, maka harus dikembalikan kepada pemahaman yang diberikan di dalam ayat-ayat Al Quran dan di Sunnah Rasulullah.

Khilafah tampil dalam berbagai bentuk kata:

Khalifah -> QS Al Baqarah 30: Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi".

Khalaaifah (khalifah-khalifah) -> QS Yunus 73: dan Kami jadikan mereka itu pemegang kekuasaan

Khulafaa’ -> QS An Naml 62: dan yang menjadikan kalian sebagai khalifah-khalifah bumi (khulafa’ al-ardh).

Istikhlaaf -> QS An Nuur 55: Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa,

Mustakhlaf -> QS Al Hadiid: 7: Berimanlah kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan nafkahkanlah sebagian dari apa-apa yang Dia telah menjadikan kalian mustakhlaf (yang dijadikan sebagai khalifah) terhadapnya.

Bahwa khilaafah adalah tema Quran, sehingga cara memahaminya harus kembali kepada Al Quran dan Sunnah. Jangan memahaminya berdasarkan kelompok tertentu, ormas tertentu, orang tertentu.

Apa yang dimaksud dengan khilaafah?

Secara Bahasa, khilaafah itu artinya pengganti. Makanya Abu Bakar As Siddiq disebut khalifah, menggantikan Rasulullah SAW.


Suatu ketika Abu Bakar dipanggil, “yaa khalifatullah.” Lalu Abu Bakar mengoreksi, “jangan panggil saya seperti itu. Saya adalah khalifaturrasuullah (pengganti Rasulullah).”

Sehingga jangan sampai yang ada di benak kita ketika mendengar kata Khalifah, hanya kekuasaan saja, karena seperti itu akan membuat penguasa yang ada saat itu menjadi tidak nyaman, merasa akan ditumbangkan dsbnya. Padahal tidak seperti itu.

Makna Khalifah itu adalah:

1. Al Khilafatu Ubudiyatun wa Siyadah (Khilafah adalah penghambaan hanya kepada Allah dan kepemimpinan)

Semua kita adalah pemimpin dan juga sekaligus hamba. Seorang guru, dia adalah pemimpin di sekolahnya, tapi sekaligus juga hamba Allah. Seorang pemimpin perusahaan adalah pemimpin di perusahaannya, sekaligus juga hamba Allah.

Ketika Allah bicara tentang syarat kepeminpinan, maka syarat ke-5 adalah hamba Allah.

Terjemah QS Al Anbiya 73: Dan Kami menjadikan mereka itu sebagai pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami, dan Kami wahyukan kepada mereka agar berbuat kebaikan, melaksanakan shalat, menunaikan zakat, dan hanya kepada Kami mereka menyembah.

Wakaanuu lanaa ‘aabidiin (dan hanya kepada Kami mereka menyembah).

Jadi seorang pemimpin adalah petugasnya Allah SWT, yang tugasnya hanya menjalankan perintah Allah.

Kenapa dikatakan ubudiyah, karena status dia adalah hamba Allah, tidak akan berubah menjadi tuhan.

Allah menyebut Nabi Muhammad di surat Al Isra’ ayat 1, sebagai ‘abdullah (hamba Allah). Karena di dalam perjalanan Isra’ dan Mi’raj, Nabi diistimewakan oleh Allah, perjalananannya jauh tapi hanya dalam 1 malam. Allah muliakan dengan subhanalladzii asraa bi ‘abdihii (Maha suci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya).

Juga dalam menurunkan Al Quran, Allah tidak menyebutkan Muhammad, tapi Allah sebutkan ‘abdihi, Tabarokalladzii nazzalal furqoona ‘ala ‘abdihii (Maha Tinggi Allah yang telah menurunkan Furqon (Al Quran) kepada hambaNya (Muhammad).

Panggilan yang memuliakan sebagai hamba Allah ini bukan ditujukan hanya kepada Rasullullah saja, tapi juga kepada hamba2 Allah yang rajin sholat malam (Qiyamul Lail), orang2 yang tawadhu dalam berjalan di muka bumi, dll.

Al Furqan 63: wa ‘ibadurrahmaanilladziina yamsyuuna ‘alal ardhi (adapun hamba-hamba Tuhan Yang Maha Pengasih itu adalah orang-orang yang berjalan di bumi dengan rendah hati)

Jadi ketika berbicara tentang khilafah, itu maksudnya meskipun seseorang adalah pemimpin, tapi dia tetap hamba Allah yang berkewajiban untuk ibadah kepada Allah.

Jadi kalau sudah menjadi pemimpin sebuah Negara, maka dia bukan pemimpin orang Islam saja, tapi juga seluruh rakyatnya.

Rasulullah ketika memimpin Negara, yang dilindungi bukan hanya muslimin saja, tapi juga non-muslim. Rasulullah berkata, “Barangsiapa yang menyakiti kafir dzimmy, maka ia telah melukai aku.”

Islam adalah agama rahmat. Islam melawan kedhzoliman. Tidak ada pemaksaan dalam agama.

Jadi seluruh kinerjanya, kebijaksanaannya, harus benar2 semata2 ibadah kepada Allah, bukan budaknya manusia lain, atau bangsa lain, dsbnya.

Juga ia sebagai pemimpin. Seorang pemimpin itu selalu menjaga kehormatan, dan membela rakyatnya. Makanya seorang pemimpin harus tegas. Kalau ia telah dipilih sebagai pemimpin, maka ia harus menjadi pemimpin yang melindungi seluruh rakyatnya, bukan hanya melindungi golongan yang dulu mengutusnya saja.

Hubungan kita kepada Allah adalah sebagai hamba, dan hubungan kita dengan rakyat adalah sebagai pemimpin.

Jangan sampai ketika kita menjadi pemimpin, rakyat takut mengungkapkan pendapat, takut membela yang benar, dsbnya.

Seorang pemimpin harusnya membuat rakyatnya tenang.

Pertanyaan #1. Ada sebagian masyarakat yang tidak paham, yang mengatakan, “kalau misalnya masuk kepada Islam, maka dia harus patuh pada pemimpinnya, bahwa jika pemimpin bilang A, maka harus ikut kata pemimpinnya walau pemimpinnya itu salah.”

Bagaimana Islam memandang hal ini?

Jawab:

QS An Nisa 59: Yaa ayyulahhadziina aamanu, athiiullah wa athii urrasuula wa ulil amri minkum (Wahai orang-orang beriman, taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul, dan pemimpin di antara kalian).

Ini ayat yang berkaitan dengan masalah kehidupan berbangsa dan bernegara, berkaitan dengan kepemimpinan.

Kalau tidak ikut petunjuk kebenaran itu pasti sesat.

Ayat ini berbunyi, taatlah kepada Allah, dan taatlah kepada Rasulullah, dan kepada pemimpin kalian. Begitu sampai pada “pemimpin kalian,” tidak ada perintah “taatlah” di sebelumnya.

Ulama tafsir mengatakan, karena taat kepada Allah dan Rasul itu mutlak, tidak ada tapi nya. Sedangkan taat kepada pemimpin kita, apakah itu orang tua kita, pemimpin partai kita, guru kita, dsbnya taatnya itu tidak mutlak.

Pada dasarnya yang wajib ditaati secara mutlak adalah Allah dan RasulNya.

Pertanyaan #2. Banyak muslim yang awam ketakutan dan berhati2 dengan masalah Khalifah.

Jawab:

Seluruh amal ibadah kita dan kita berjuang melalui ajaran Islam yang bernama khilafah itu harus Islam. Tujuan Allah menciptakan kita, adalah untuk melihat siapa yang paling baik amalnya. Kalau dalam hal yang kecil saja kita harus ihsan (berbuat yang terbaik), apalagi dalam berbangsa dan bernegara. Maka harus lebih baik lagi.

Allah mampu menjadikan Nabi sebagai pemimpin di Makkah. Tapi kenapa hal itu tidak Allah wujudkan?

Ada sahabat yang tidak sabar, yang ingin berperang saja saat masih di Mekkah. Tapi Rasulullah katakan, “tidak. Kita belum diperintah untuk berperang. Jalankan dulu sholat dan zakat.”

Itu lah, pemimpin itu tidak mengikuti perasaan. Walau perasaan itu memang penting, tapi tidak menjadikan itu sebagai satu2nya pertimbangan.

Seorang Khalifah atau Nabi, maka seluruh kebijakannya harus berdasarkan petunjuk Allah, bukan berdasarkan perasaan.

Hikmahnya pun hanya Allah yang Tahu, tapi kita coba gali hikmahnya.

1. Padahal orang2 kafir sudah menawarkan kekuasaan kepada Rasulullah, tapi Rasulullah menolak, karena kekuasaan itu hanya alat, sedangkan yang lebih penting adalah bagaimana dakwah terus berjalan.

2. Di dunia ini ada sunnatullah yang tidak boleh kita lupakan, yaitu berprosess (at tadarruj).

Jangan kan bagi kita yang ingin mempunyai kekuasaan, bahkan Allah dalam memnyiptakan langit dan bumi pun secara bertahap, ada proses, padahal Allah mampu menjadikannya tanpa proses.

Hikmahnya adalah: agar manusia selalu berproses.

Salah satu rahasianya adalah doa. Menghadapi orang yang saat ini memusuhi Islam, tidak selalu dihadapi dengan perang, tapi juga melalui doa.

Umar bin khattab masuk Islam karena didoakan.


3. Kita jangan isti’jal (terburu2), ketika menghadapi orang2 yang dzholim

Karena sunnatullah memberikan contoh, bahwa tidak semua orang yang dzholim langsung diadzab oleh Allah. Termasuk Khalid bin Walid, yang tadinya mendzholimi umat Islam , ternyata ke depannya dia menjadi Pedang Allah membela ummat Islam.

Ini artinya, kita mendoakan, tapi juga tidak boleh lari dari kewajiban memberi peringatan kepada orang yang dzholim.

Bila ada pilihan2, maka kenapa tidak memilih yang lebih mudah.

Kapan kita harus bersabar, kapan kita harus terus berproses, kapan kita harus tetap berdoa dan kapan kita harus berperang.

Jihad fii sabiilillah bukan satu2nya cara untuk mencapai Khilafah.

Ketika Adam as diciptakan sebagai khalifah, itu sebuah kemuliaan. Seolah2 malaikat itu iri dengan mengatakan, “mengapa Engkau menjadikan manusia sebagai pemimpin?”

Al Khilafah juga tanggungjawab kita. Bukan semata2 mendapatkan kekuasaan. Ketika saudara kita menjadi pemimpin, maka itu juga tanggungjawab, bukan semata2 kehormatan dari Allah.

Karena dia akan dimintai pertanggungjawaban kelak di akhirat.

Terjemah QS Al A’raf 6: Maka sesungguhnya Kami akan menanyai umat-umat yang telah diutus rasul-rasul kepada mereka dan sesungguhnya Kami akan menanyai (pula) rasul-rasul (Kami),

Rasul dan seluruh ummatnya, termasuk yg menjadi khalifah, akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah.

Sehingga ketika menjadi khalifah, ia tidak sewenang2

4. Memperbaiki dan Membangun

Jadi apa pun bentuk berbangsa dan bernegara, maka kewajiban kita adalah memperbaiki bangsa dan Negara ini, bukan merusak.
Khilafah adalah memperbaiki system ekonomi, budaya, dsbnya.

Wa imaarah (dan membangun). Ketika Allah menangkat manusia menjadi khalifah, maka tugasnya adalah imaarah (membangun).

Jangan sampai ketika berkuasa, justru harta benda hilang, asset Negara dijual, dsbnya.
Justru asset Negara harusnya bertambah.

Kalau seseorang menjadi suami, harusnya menambah warisan, bukan malah menjual2nya.


Ketika Islam berjaya menjadi pemimpin dunia, bukan berarti kekayaan yang didapatkan itu diberikan ke Madinah, tapi Irak dibangun, Andalusia dibangun, dstnya.

Rabu, 22 April 2015

Jalan Kemandirian (2)

Ummat Islam adalah ummat yang besar, menembus angka yang signifikan, yaitu 1,6 M. Tapi terkendala dengan minimnya kemandirian. Yaitu terjajah ekonominya, pendidikannya, dsbnya karena tidak mandiri dalam kehidupannya.

Bagaimana agar mandiri?

1. Koordinasi antara seluruh cabang2 produksi

Seluruh produktifitas itu jangan berjalan sendiri2. Tapi harusnya saling terkoordinasi. Kalau ada satu produk yang lebih dominan daripada produk yang lain, maka akan terjadi kepincangan. Jangan sampai kita menyia2kan sector tertentu karena kita lebih memperhatikan sector yang lain. Tidak tepat kalau kita memperhatikan sector pertanian, lalu menyia2kan sector industry. Atau sebaliknya.

Sungguh disayangkan, gula saja impor, garam impor, barang impor. Bagaimana bisa menjadi bangsa mandiri.

Karena menyia2kan potensi itu berdosa. Dan dosa itu mendatangkan adzab.

Terjemah QS Al An’am 6: Apakah mereka tidak memperhatikan berapa banyak generasi yang telah Kami binasakan sebelum mereka, padahal (generasi itu) telah Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi, yaitu keteguhan yang belum pernah Kami berikan kepadamu, dan Kami curahkan hujan yang lebat atas mereka dan Kami jadikan sungai-sungai mengalir di bawah mereka, kemudian Kami binasakan mereka karena dosa mereka sendiri, dan Kami ciptakan sesudah mereka generasi yang lain.

Seluruh sector itu harus terkoordinasi dengan baik, jangan berjalan sendiri2.

Juga yang berkaitan dengan dunia pendidikan, seluruh bidang harus seimbang. Jangan sampai anak bangsa ini seluruhnya focus ke hal2 yang bersifat teoretis, dan tidak mau ke hal2 yang bersifat aplikatif.

Maka di dalam Al Quran, tidak seluruh ayat itu berisi terntang berpikir, walau berpikir itu penting.

Dilarang banyak bertanya dalam hal yang kaitannya dengan kinerja.

Anak kita jangan sampai terjebak sebatas rekreasi intelektual. Tidak diaplikasikan dalam dunia nyata.

Berbeda dengan sebuah Negara, yang penelitiannya langsung diaplikasikan dalam dunia nyata, dan ini mempercepat kemajuan sebuah Negara.

Hadist yang memuat pentingnya koordinasi antara satu sector dengan sector lainnya.

Riwayat Imam Ahmad dan Abu Daud, Nabi bersabda, “Apabila kamu berjual beli dengan cara ‘ainah (mirip riba), kamu senang bercocok tanam, kamu mengikuti ekornya sapi, dan kamu meninggalkan jihad, maka kamu akan ditinggalkan oleh Allah.”

Kalau sebuah bangsa sibuk dalam sector tertentu, umpamanya pertanian, tapi ketika mereka meninggalkan jihad fi sabilillah maka negaranya akan terancam.

Yang diperdagangkan penting, di industri penting, di pertanian penting. Jangan sampai ekonomi menghalalkan segala cara. Begitu ada musim politik, semuanya bicara politik, lupa sholatnya, lupa zakatnya, lupa pengajiannya. Panen politik memang sudah selesai, tapi meninggalkan masalah2 lainnya.

Maka dari itu tidak semuanya disuruh pergi berperang, supaya seimbang dalam berbagai sector di hidup ini. Sehingga tidak ada orang2 yang merasa berjasa. Kalau tidak ada pertanian, tentunya orang2 bisnis tidak bsia makan, dstnya.

Ketika kita benar2 mandiri, maka kita diselamatkan dari kehinaan yang bernama penjajahan.

Ketika sebuah bangsa tidak mandiri, berarti ada kesempatan bagi penjajah itu untuk intervensi, intimidasi.

Sesuatu yang tidak bisa sempurna dengan kewajiban itu, maka sesuatu itu wajib.

Kalau kemandirian itu syarat wajib merdeka, maka kita wajib mewujudkan kemandirian.

Senantiasa mengadakan koordinasi antara satu sector dengan sector yang lain.

Allah mengingatkan kita tentang pentingnya al hadid (besi), yaitu militer.

“Dan kami turunkan al hadid (besi), besi itu terdapat kekuatan yang sangat dahsyat dan manfaat yang sangat banyak bagi manusia.”

Allah berfirman, “wa anzalnaa” itu artinya diturunkan dari atas ke bawah. Ulama mengatakan, kalau ada yang diturunkan dengan kata “wa anzalnaa” itu menandakan bahwa sesuatu itu sangat penting.

Al Quran dan al hadiid sama2 digunakan “wa anzalnaa”. AL Quran sebagai pedoman kehidpan, maka al hadiid adalah hal yang memiliki banyak manfaat bagi manusia.

Al Hadid itu dimaknai dengan militer, karena untuk membuat perlengkapan militer dibutuhkan besi.

Dan manfaat2 bagi kehidupan manusia, manafi’ itu bermakna umum. Kalau yang tadi itu berkaitan untuk dunia militer, tapi yang ini bermanfaat bagi dunia sipil.

Tapi sayangnya, ummatul hadiid (umat yang mendapatkan surat Al Hadid) tidak bersungguh2 dalam sector ini. Mereka tertinggal militernya, tertinggal teknologinya.

Membeli pesawat dari Negara lain, lalu setelah sekian tahun tidak bisa dioperasikan karena onderdilnya diembargo tidak bisa kita beli.

2. Memprioritaskan yang lebih penting daripada yang kurang penting. Mendahulukan yang penting daripada yang tidak penting.

Kita harus mendahulukan perkara2 yang adz dzoriyaat. Ketika kita menjadi bangsa, yang makanan pokoknya adalah beras, maka perhatian utama kita adalah pertanian, jangan sampai membiarkan pertanian tergerus oleh industry. Bukan berarti industry tidak penting, tapi makanan pokok beras kita harus diutamakan.

Jangan sampai kita mengimpor beras. Suatu saat kita akan mandiri dan kuat. Negara kita kaya, besi juga banyak. Yang menjadi masalah adalah, apakah pemerintah berpihak pada kemandirian atau tidak.


Quran memberikan petunjuk kepada jalan yang lebih lurus, sehingga kebijakan apa pun ketika berdasarkan Al Quran akan lurus. Maka penasehat2 di negara2 Islam, hendaknya adalah muslim.

Selasa, 21 April 2015

Jalan Kemandirian (1)

Islam adalah agama kemerdekaan. Agama yang benar2 memperhatikan kemerdekaan ummat manusia. Tidak mungkin sebuah bangsa merdeka kalau dia tidak mandiri dalam kehidupan. Bagaimana agar bangsa yang kita cintai ini mandiri, di antaranya:

1. Mendayagunakan dg baik seluruh sumber daya yang telah diberikan oleh Allah SWT

Jangan sampai ada potensi sumber daya yang ada di negri ini disia2kan. Apakah itu bersifat ekonomi, materi, fisik, dsbnya. Semuanya harus digunakan dalam rangka menyejahterakan rakyat. Tidak boleh sedikitpun disia2kan. Bahkan wajib untuk menjaganya, karena itu adalah amanah. Begitu banyak ayat2 Al Quran yang mengingatkan kita semua tentang amanah.

Terjemah QS An Nisa 58: Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya

Bila diabaikan amanah ini, maka kita berdosa, dan yang paling besar dosanya adalah pemimpinnya.

Terjemah QS Al Anfal 27: Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat yang dipercayakan kepadamu

Selain sumberdaya itu adalah amanah, dia juga nikmat yang wajib kita syukuri dan merupakan kaidah kehidupan. Bangsa mana pun yang pandai mensyukuri nikmat Allah, maka akan menjadi bangsa yang maju dan mandiri.

Kaidah syukur: “Siapa pun yang mensyukuri nikmat Allah maka akan Allah tambahkan nikmat2 baru.”

Terjemah QS Ibrahim 7: Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih"

Pertanyaannya, apa tandanya bahwa kita benar2 bersyukur pada Allah.

1. Pengakuan bahwasanya seluruh nikmat itu benar2 datang dari Allah.
2. Mendayagunakan dengan sebaik2nya seluruh nikmat2 Allah dalam rangka taat kepada Allah SWT.
Kita diberikan lautan, hutan, rakyat yang aslinya memiliki sopan santun yang tinggi, seharusnya didayagunakan sebaik2nya.

Jangan sampai terbalik. Ketika diberikan al istiqlal, malah memperbanyak titik2 kemaksiatan. Itu bukan mensyukuri kemerdekaan Indonesia. Itu justru mengotori kemerdekaan Indonesia.

Banyaknya ulama, banyaknya orang2 yang soleh, itu harus dimotivasi, didukung untuk memperbanyak kegiatan untuk memberikan pencerahan pada ummat. Adanya ulama, para ustadz, itu adalah nikmat yang sangat besar bagi sebuah bangsa dan Negara, karena Negara itu akan diberikan berkah oleh Allah SWT.

Apa jadinya kalau ada seseorang atau sekelompok orang yang tidak mensyukuri nikmat Allah?

Jawabannya, bukan dikurangi nikmatnya, tapi Allah jawab “sesungguhnya adzabKu sangat pedih.”

Adzab itu bisa berupa banjir, tanah longsor, manusia yang makin brutal, pemimpin yang dzalim, rakyat tidak taakt pada pemimpinnya, begal di mana2. Na’udzubillahi min dzalik.

Kalau sebegitu pentingnya kita memberdayakan seluruh sumber daya yang ada di bumi ini, maka kalau ada yang menyia-nyiakan, itu pasti mendapatkan adzab dari Allah.

Terjemah QS Al An’am 140: Sesungguhnya rugilah orang yang membunuh anak-anak mereka, karena kebodohan lagi tidak mengetahui dan mereka mengharamkan apa yang Allah telah rezeki-kan pada mereka dengan semata-mata mengada-adakan terhadap Allah. Sesungguhnya mereka telah sesat dan tidaklah mereka mendapat petunjuk.

Sebuah bangsa yang menyia2kan potensi manusia, atau pun sumber daya lainnya, divonis oleh Allah sebagai:
1. rugi
2. bodoh, walau seandairnya seluruh dunia menganggapnya pakar.
3. mengharamkan apa yang telah Allah rezekikan kepada mereka
4. pembohong
5. sesat
6. orang2 yang tidak mendapatkan petunjuk

Kalau Allah menghalalkan binatang ternak, maka jangan sampai ada manusia yang menyia2kan ciptaan Allah dengan mengharamkannya.

Nabi SAW mengingatkan kita semua akan kewajiban intifa’ (mendayagunakan setiap potensi yang diberikan Allah) walau pun kelihatannya remeh.

Mari kita lihat Rasulullah SAW, pemimpin kita, yang harus kita teladani seluruh aspek kehidupannya. Ketika beliau melewati kambing yang telah menjadi bangkai. Sahabat menjawab, “Ya Rasulullah itu adalah kambingnya Maulah.” Lalu nabi menjawab, “Yang haram itu bangkai kambing untuk dimakan, tapi kulitnya yang sudah disamak sedemikian rupa, itu sangat baik.”

Hadist ini muttafaq alaihi

Logika seseorang mungkin berpikir, itu kan sudah bangkai, ya sudah dikubur saja, tapi Rasulullah memerintahkan untuk ambil kulitnya dan disamak.

Bagaiamna seandainya Nabi hidup di bumi Indonesia, melihat hutan dan loahan yang kosong tidak dimanfaatkan. Jangan kan kambing spt di hadist tadi, bahkan makanan yang jatuh atau pun nempel di jari2 kita, harus kita makan setelah dibersihkan, agar tidak dimakan oleh setan.

Jangan kan hutan, jangan kan laut, sisa makanan di jari jemari kita saja tidak boleh disia2kan.

Mengenai pertanian, dikatakan, “barang siapa yang punya sebidang tanah, maka wajib baginya menanamnya. Jika tidak, maka berikan kepada saudarnya untuk menanamnya, atau dengan bagian mudharrabah.”


Betapa banyaknya tanah yang masih nganggur tidak digarap di tanah air kita, padahal dikatakan banyak pengangguran.