Jumat, 29 Mei 2015

Adil dalam Takaran dan Timbangan

Di antara ruang lingkup keadilan yang diwajibkan oleh Allah SWT untuk ditegakkan adalah adil dalam takaran dan timbangan.

QS Al An’am 152: Dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. Kami tidak membebani sesorang melainkan menurut kesanggupannya.

Ketika ini merupakan instruksi Allah untuk menegakkan keadilan dalam takaran dan timbangan, maka ini adalah instruksi yang besar. Tidak ada instruksi di dalam dunia ini yang lebih besar daripada instruksi Allah. Dan sebaliknya, ketika instruksi Allah dilanggar, yang terjadi adalah kerusakan.

Ketika pelaku2 ekonomi tidak adil dalam timbangan dan takaran, yang terjadi adalah kekacauan.

Keadilan ini dimaksudkan adanya kesamaan al haqq antara pembeli dan penjual. Yang menjual mendapatkan harga, dan yang membeli mendapatkan timbangan yang benar, barang yang benar. Sehingga sama2 mendapatkan saling ridho.

Inilah bedanya ekonomi syariat dengan yang bukan syariat, ada kebahagiaan yang bernama ridho.

Karena sulit untuk mendapatkan keridhoan bila salah satunya didholimi.

Adil dalam takaran dan timbangan adalah sebuah perkara yang diwajibkan dalam keadilan dan kebenaran. Jika kita menegakkan keadilan, maka dia menegakkan kebenaran.

Adil dalam bab takaran dan timbangan ini berkaitan dengan Al Haqq (kebenaran), sebagaimana hubungan keadilan dengan kebenaran dalam seluruh aspek kehidupan, tidak hanya dalam masalah takaran dan timbangan saja.

Wa aw fuu wa kaila wal miizaana bil qisthi.

Di sini Allah emmerintahkan kita di dalam timbangan secara penuh (wafa’). Tidak boleh mengurangi timbangan, karena itu menjauhkan dari keberkahan.

Mungkin orang kelihatan untung secara nominal, tapi hidupnya tidak bahagia, anaknya nakal, rumah tangganya tidak harmonis, dikarenakan uang yang didapatkan tidak halal dari timbangan yang tidak adil.

Di antara keistimewaan ajaran Al Quran adalah mensinkronkan antara idealita dengan realita. Artinya, kita sebagai seorang muslim seideal mungkin dalam bisnis, seluruh zuhud harus dilakukan agar timbangan itu teliti, takaran itu benar. Tapi bila seluruh usaha sudah dijalankan, lalu masih kurang tepat, maka kita minta ampun kepada Allah.

Laa yukallifullahu nafsan illaa wu ‘ahaa

Allah tidak membebani di luar kemampuan.

Itu tandanya hal2 yang di luar kemampuan kita, dimaafkan.

Yang tidak boleh adalah, menganggap remeh timbangan. Kita harus berupaya dengan sungguh2 agar berlaku adil dalam takaran. Bila masih ada kekurangan, maka Allah berfirman, laa yukallifullahu nafsan illaa wus ‘ahaa…

Ini yang dimaksud dengan seimbang antara idealism dengan realisme.

Dalam menimbang ketokohan seseorang, dalam menentukan sikapnya, kebijakannya, keberpihakannya, juga harus adil, karena Islam mempunyai timbangan yang benar. Itu juga harus dilakukan sepenuh2nya.

Setelah kita berupaya semaksimal mungkin, semoga ketidakmampuan kita itu diampuni Allah. Kita tidak boleh melakukan dengan sisa2, tapi harus seoptimal mungkin.

Apa urgensi berbuat adil dalam takaran dan timbangan? Penting kita ketahui agar kita selalu termotivasi untuk terus berlaku adil.

1. Memenuhi timbangan dan takaran secara adil adalah sepuluh wasiat Allah

Al An ‘am 151-153:

151. Katakanlah: "Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu, yaitu: janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu bapa, dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan. Kami akan memberi rezeki kepadamu dan kepada mereka; dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak di antaranya maupun yang tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar". Demikian itu yang diwasiatkan oleh Tuhanmu kepadamu supaya kamu memahami (nya).

152. Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat, hingga sampai ia dewasa. Dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. Kami tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar kesanggupannya. Dan apabila kamu berkata, maka hendaklah kamu berlaku adil kendati pun dia adalah kerabat (mu), dan penuhilah janji Allah. Yang demikian itu diwasiatkan Allah kepadamu agar kamu ingat,

153. dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diwasiatkan Allah kepadamu agar kamu bertakwa.

Ini adalah sepuluh wasiat Allah, sehingga di bagian penutup ayatnya selalu disebutkan, dzaalikum wassho lukum bihi (yang demikian itu diwasiatkan Allah kepadamu). Ungkapan wassho (wasiat) lebih mendalam daripada perintah.

Ketika orang mau meninggal dunia, dia kumpulkan anaknya, saudaranya, maka ia berwasiat. Sudah barang tentu wasiat ini lebih penting daripada yang lain.

2. Ancaman Allah atas ketidak adilan, adalah neraka Wail

QS Al Muthoffifiin 1: Wailull lil muthoffifiin (kecelakaan besarlah bagi orang2 yang berbuat curang)

Neraka wail, kebijaksanaan bagi orang2 yang berbuat curang.

Fenomena ketidakadilan dalam takaran ini, bila terjadi di tengah2 masyarakat, maka masyarakat ini berhak untuk dihancurkan oleh Allah.

Masyarakat yang curang dalam timbangannya, dalam ekonominya, maka Negara itu akan hancur. Hancur bukan secara ekonomi saja tapi juga dalam moral masyarakatnya.

Negara adalah yang paling bertanggungjawab, jangan sampai ada rakyat yang terdholimi dengan tidak adilnya takaran itu.

Maka Rasulullah, orang yang paling sibuk ibadahnya itu, tidak ada alasan untuk mengatakan, “saya tidak ada waktu” untuk memeriksa langsung bisnis di pasar. Ketika ada orang yang menyimpan barangnya sedemikian rupa supaya tidak kelihatan cacatnya, maka Nabi menegurnya.

Ini peringatan kepada kita, agar rakyat jujur dalam bisnisnya, maka Negara harus benar2 memeriksa langsung.

Ketika kita membaca ayat waylullill muthaffifin… Al Quran ketika berbicara tentang akhirat, bukan sebatas akhirat, tapi ada efeknya juga di dunia. Sehingga manusia tidak berani berbuat curang di dunia, karena takut masuk neraka wail.

3. Keadilan bagi semua.

Adil untuk pembeli, penjual, rakyat, pemerintahnya, bagi semuanya.

Semoga kita semua diberikan taufiq dan hidayah oleh Allah, sehingga kita bisa berlaku adil dan diberi keberkahan oleh Allah SWT. Aamiin..


Kamis, 28 Mei 2015

Jalan Kebahagiaan dalam Hidup ini

Diterangkan begitu luas, begitu banyak, menggambarkan begitu luasnya rahmat Allah. Tidak ada jalan kebahagiaan yang pasti ditunjuki oleh Allah caranya.

1. Berlapang dada

Kenapa berlapang dada itu menjadikan hidupnya baik, hidupnya tenang?

Seorang mukmin, dalam hidup ini tidak pernah sepi dari tugas2 yang berat. Allah sendiri yang menyatakan itu berat. Termasuk menyampaikan Al Quran.

QS Al Muzzammil 5: Sesungguhnya Kami akan turunkan perkataan yang berat.

Memang orang hidupnya santai, tapi orang itu hidupnya kecil, ketika ia meninggal tidak ada yang merasa kehilangan. Yang merasa kehilangan, paling2 hanya anak istrinya saja.

Berbeda dengan orang yang sepanjang hidupnya berjuang di jalan Allah. Hidupnya besar, dan ketika ia meninggal, yang merasa kehilangan dirinya banyak.

Modal untuk melaksanakan tugas2 dalam kehidupan ini adalah berlapang dada.

Seperti apa urgensi dari berlapang dada?

Musa as meminta kepada Allah agar dilapangkan dadanya. Ketika mendapatkan isntruksi dari Allah agar menyampaikan kepada Firaun, durjana terbesar di dunia, lalu apa modal yang diminta oleh Musa kepada Allah? Modalnya adalah, minta kepada Allah agar dilapangkan dadanya.

“Qoola Robbish rohlii shodrii, wayassirlii amrii, wahlul ‘uqdatam millisaanii yafqahuu qaulii.”

Kalau kita mengetahui ilmu korelasi (munasabah), maka kita akan mengetahui aspek2 kemukjizatan Al Quran. Ayat2 yang mungkin tidak diturunkan dalam waktu yang sama, tapi saling berkorelasi. Apa sajakah hal-hal yang berhubungan dengan berlapang dada?

1. Mudahnya urusan2.

Bayangkan kalau sejak awal saja sudah sesak dadanya, sudah marah2, maka urusannya akan menjadi berat.

2. Berkomunikasi lebih lancar

Hidup ini tidak selamanya mulus. Dalam rumah tangga, mungkin ada masalah antara suami istri, orang tua anak. Dalam berbangsa juga seperti itu. Tapi jika berlapang dada, maka komunikasi itu akan baik.

Bayangkan jika setiap orang punya dendam, maka perkara yang sebenarnya mudah, bisa menjadi sulit. Maka berlapang dada merupakan jalan menuju kehidupan yang lebih baik, kehidupan pribadi, kehidupan keluarga, berbangsa dan bernegara.

3. Komunikasi dan ungkapan yang mudah dipahami

Maka di ayat tadi dikatakan “yafqahuu qaulii…”

Kenapa ketika seseorang mengatakan, “kenapa ya dia tidak juga memahami apa yang saya katakan,” ini saatnya kita muhasabah, mungkin kalimat kita sulit dimenegrti, karena berangkat dari hati yang sempit dan tidak tenang.

4. Nabi juga berlapang dada.

Bukan hanya Nabi Musa saja, tapi Nabi Muhammad juga berlapang dada.
QS Al Inshiroh: Tidakkah Kami sudah lapangkan dadamu.

Ini dapat kita pahami, bahwa sebelum ayat ini turun, Nabi juga tidak bisa lepas dari sifat manusiawinya, yaitu ketika berdakwah ada tekanan yang bertubi2.

Ada kaumnya yang begitu dekat dengan Nabi, bahkan memberikan ungkapan Al Amin kepada Nabi, tapi ketika Nabi diangkat menjadi Nabi, maka orang2 yang dulunya dekat itu menjauh, bahkan ada yang menuduh Nabi sebagai gila, tidak akan punya keturunan, dsbnya.

Begitu pula kepada penerus dakwah saat ini. Ada hal2 yang membuat dada mereka sesak. Maka bermohonlah kepada Allah agar dilapangkan dada.

2. Berbuat baik kepada seluruh manusia

Seluruh manusia, bukan hanya kepada keluarganya saja, golongannya saja, dan jauh dari sifat iri dengki. Ternyata kebahagiaan itu kita produksi dari diri kita sendiri. Tempat kedengkian itu adanya dari dalam hati. Maka harus dicuci sebersihnya kedengkian itu.

QS An Nisa 114: Tidak ada kebaikan pada kebanyakan pembicaraan rahasia mereka, kecuali pembicaraan rahasia dari orang yang menyuruh (manusia) bersedekah, atau berbuat kebaikan, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. Barang siapa berbuat demikian karena mencari keridaan Allah, maka kelak Kami akan memberinya pahala yang besar.

Ada tiga seruan kebaikan dalam ayat di atas:
1. menyuruh untuk bersedekah
2. berbuat baik
3. mendamaikan manusia, supaya di dunia ini tidak ada saudara kita yang saling bertengkar, memusuhi.

Menggambarkan betapa besarnya pahala yang memproduksi kebaikan2.

QS Al Qashash 77: Dan berbuat baiklah sebagaimana Allah berbuat baik kepada kamu.

Ketika disebutkan “berbuat baiklah!” itu tidak disebutkan berbuat baik kepada siapa, tapi menunjukkan berbuat baik kepada umum. Berbahagialah kita untuk berbuat baik kepada siapa saja, tidak ada fanatisme golongan. Sebanyak mungkin kita bisa berbuat baik sebanyak2nya kepada semua manusia.

3. Berbuat baik kepada kedua orang tua.

Kenapa disebut berbuat baik secara khusus kepada kedua orang tua, padahal di ayat di atas sudah disebutkan secara umum, agar berbuat baik kepada semua manusia, dan ini berarti termasuk juga orang tua kita, tapi kenapa perintah berbuat baik kepada orang tua disebut lagi di ayat2 lainnya secara khusus?

Karena banyak orang yang lupa berbuat baik kepada orang tua. Orang sering berpikir yang jauh ke depan. Ketika ditanyakan, “bapak buat apa bekerja siang malam?” Jawabannya biasanya adalah, “untuk anak dan istri saya.” Kebanyakan manusia lupa dengan orang tuanya. Dia bersenang2 dengan temannya, tapi lupa dengan orang tua di kampung. Mengirim uang hanya uang yang sisa2. Menelepon dengan pulsa yang sisa2.

Tidak semuanya mengirimkan uang kepada orang tuanya secara rutin.

Sampai2 Rasulullah mengatakan, “Kamu dan harta benda kamu milik bapak kamu.”

Itu sebabnya di dalam Al Quran, perintah Allah berbuat baik kepada kedua orang tua itu urutannya pada urutan kedua, setelah perintah bertaqwa kepada Allah.

QS Al Isra 23-24: Dan Rabbmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada kedua orang tuamu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ahh” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuhrasa sayang dan ucapkanlah, “Wahai Rabbku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidikku di waktu aku masih kecil”.

QS An Nisa 36: Dan beribadahlah kamu kepada Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Berbuat baiklah kepada dua orang tua, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh dan teman sejawat, Ibnu sabil dan hamba sahayamu.

Kita tidak menjadi orang kaya, menjadi dokter, menjadi ulama, dsbnya, kalau tidak ada orang tua kita.


Semoga kita selalu mendapatkan petunjuk Allah.

Rabu, 27 Mei 2015

Al Quran dan Ilmu Pengetahuan

Kita hidup di zaman ilmu pengetahuan atau teknologi. Yang harus kita ingat adalah, ilmu pengetahuan dan teknologi itu kedudukannya adalah sarana. Dan Al Quranul Karim adalah kitab hidayah, kitab petunjuk. Memberi petunjuk kepada manusia tentang seluruh aspek kehidupan, termasuk aspek ilmu pengetahuan dan teknologi.

Ketika kita mempelajari ilmu pengetahuan, jangan keluar dari hidayah Al Quranul Karim.

Kenapa kita kaitkan antara ilmu dengan Al Quran?

1. Al Quran mengajak seluruh umat manusia kepada ilmu pengetahuan

Al Quran mengentaskan kegelapan menuju kepada Nur (cahaya) Islam.

Tidak ada di dunia ini kitab apa pun yang melebihi Al Quran ketika mengajak umat manusia agar membangun peradabannya.

Ayat yang pertama turun, yaitu 5 ayat pertama Surat Al Alaq, itu berbicara tentang ilmu. Tidak berbicara tentang politik, ekonomi, budaya, dsbnya, walau itu semuanya penting.

Sampai kata ilmu disebut dalam bentuk fiil madhi dan fiil mudhori’ di surat Al Alaq.

Iqro’ bismirobbikalladzii kholaq
Kholaqol insaana min ‘alaq
Iqro’ warabbukal akram
Alladzii ‘allama bil qolam
‘Allamal insaana maa lam ya’lam

Sejak diturunkan Al Quran kali pertama, yang diajarkan adalah urgensi tentang pentingnya ilmu.


2. Di dalam Al Quran tidak ada doa yang minta ditambah dan ditambah, kecuali ilmu.

QS Thaha 114: Wa qul robbi dzidnii ilma (dan katakanlah, Wahai Tuhanku, tambahkan untukku ilmu)

Harta penting, kekuasaan penting, tapi itu semua tidak diminta sebagai doa di Al Quran untuk dibanyakkan. Karena harta, kekuasaan dan sebagainya itu bisa jadi sia2 jika tidak ada ilmunya.

Negara akan baik kalau pemimpinnya berilmu, rakyatnya berilmu. Sehingga kebijakan2nya tepat, berbeda dengan orang yang tidak berilmu.

3. Ketika disebut ilmu di dalam Al Quran, tidak ada dikotomi antara ilmu umum dengan ilmu agama. Semua jenis ilmu.

Tidak ada Negara di dunia ini, yang berkomitmen menuntut ilmu, kecuali dia adalah Negara maju.

4. Ilmu saja tidak cukup. Ilmu adalah nikmat tapi juga bencana. Bagaimana bisa?

Kita paham, bagaimana nikmatnya orang yang berilmu. Karena setiap perbuatan didasarkan pada ilmu sehingga tidak sesat. Tapi ilmu yang tidak didasari pada keimanan kepada Allah, akan membawa kepada bencana.

QS Ar Ruum 7: Mereka hanya mengetahui sisi lahir kehidupan dunia; sedang mereka lalai dari kehidupan akhirat.

Allah mengakui orang2 kafir itu berilmu, tapi kalau lupa Allah, maka yang akan turun adalah bencana.

Bukankah Negara yang ahli tentang tsunami, diguncang dengan tsunami. Negara yang ahli tentang pesawat, juga pesawat terbangnya jatuh.

Musibah bukan hanya menimpa negara2 miskin, tapi juga menimpa negara2 yang katanya maju. Karena keilmuwan mereka digunakan untuk menyombongkan diri kepada Allah. Selalu analisanya mengaitkan ini semua dengan alam, seolah2 alam tidak ada penciptanya.

Ketika ilmu itu terputus dari yang memberi ilmu, maka ilmu akan menjadi bencana.

Berbeda dengan orang2 beriman, yang ketika ia berilmu, semakin menambah takutnya kepada Allah. Definisi orang berilmu dalam QS Fathir adalah: sesungguhnya orang yang takut dari hambaNya adalah ulama.

Jadi ulama itu adalah orang yang takut kepada Allah. Tidak takut kalau tidak terkenal, tidak takut kalau tidak mendapatkan pangkat, tidak takut disebut dengan sebutan orang alim.

Ulama itu selalu tawadhu, tidak menyombongkan dirinya.

Marilah kita berikan contoh, ketika diberikan ilmu pengetahuan dengan inovasi2 baru, membuat kita semakin dekat dengan Allah, semakin takut terhadap Allah.

Orang2 beriman ketika menghadapi cuaca, angina, tidak hanya menganalisis sebatas dhohir, tapi juga langsung mengingat Allah SWT. Dengan berdoa, “ya Allah jadikanlah angina ini angina rahmat, bukan angin bencana”

Ketika kita menyaksikan hujan, kita tidak sebatas menganalisa supaya tidak terjadi banjir, tapi kita juga tidak lepa terhadap Allah dengan berdoa, “Ya Allah, jadikanlah hujan ini hujan rahmat, dan bukan hujan bencana.”

Keterpaduan hati dan pikiran kita dengan Al Quran, itu yang mengantarkan kita kepada Allah.

5. Tidak akan terjadi tabrakan, antara kebenaran Al Quran dengan kebenaran ilmu pengetahuan.

Karena kedua2nya datang dari Allah. Al Quran adalah wahyu dari Allah, disampaikan melalui jibril kepada Rasulullah. Sedangkan kebenaran ilmiah juga dari Allah, melalui penelitian2. Kemampuan meneliti itu juga dari Allah, karena otak manusianya dari Allah.

Para sahabat Nabi hidup di zaman sebelum kebangkitan ilmu pengetahuan. Tapi mereka sudah beriman kepada Al Quran, meski tidak ada kebenaran ilmiyah.

Ketika kita mempelajari kemukjizatan ilmu pengetahuan di dalam Al Quran. Jangan jadikan penelitian itu ditarik2 untuk menafsirkan Al Quran. Karena penelitian itu bukan kebenaran yang baku, sehingga kalau suatu saat penelitian itu dibuktikan salah, maka seolah2 Al Quran juga salah. Dan itu tidak diperbolehkan. Untuk mengetahui kebenaran ilmiah Al Quran, tidak harus seperti itu caranya.

Fleksibilitas Bahasa Al Quran, sehingga kita terbuka untuk menggali ayat Al Quran.

Salah satu contoh yang bisa dilakukan adalah, seperti ilmu tentang sidik jari. Ilmu tentang sidik jari yang berguna di dunia kepolisian, belum ada di zaman Sahabat Rasulullah, tapi mereka telah mengimani Al Quran. Dan kini terungkap bahwa sidik jari yang dijelaskan di QS Al Qiyamah.

Al Quran telah menyebutkan bahwa sidik jari menjadi tanda pengenal manusia. Dalam Al Quran disebutkan mudah bagi Allah untuk menghidupkan manusia setelah kematiannya.

QS Al Qiyamah 3-4: Apakah manusia mengira bahwa Kami tidak akan mengumpulkan (kembali) tulang-belulangnya? Ya, bahkan Kami mampu menyusun (kembali) ujung jari-jarinya dengan sempurna.


Inilah yang kita maksudkan korelasi antara ilmu pengetahuan dan Al Quran. 

Selasa, 26 Mei 2015

Di antara Sunnatullah adalah Ujian yang Berupa Keburukan dan Kebaikan

Adalah sebuah keniscayaan bahwa manusia, siapa pun orangnya, apa pun profesinya, pasti menerima ujian yang berupa asy syarr (keburukan) dan khair (kebaikan)

QS Al Anbiya 35: Dan Kami menguji kalian dengan keburukan dan kebaikan sebagai fitnah [ujian].

Di ayat ini didahulukan penyebutan keburukan sebagai ujian, karena ini lah yang mudah ditangkap dalam benak manusia. 

Biasanya manusia mudah memahaminya jika ujian disebuta dalam bentuk keburukan. 

Lalu ditambah lagi ilmu manusia oleh Allah, bahwa ujian itu bukan hanya berupa keburukan, tapi juga kebaikan. Dan bahkan ujian kebaikan itu adalah ujian yang besar.

1. Ujian keburukan dapat berupa:

1. Sakit
2. Meninggal
3. Kefakiran
4. Ujian2 yang lainnya: dicaci orang, dimusuhi orang, selalu diawasi oleh orang tertentu sehingga tidak nyaman.

Bukankan Allah Maha Pengasih dan Penyayang, kenapa Allah Menguji HambaNya?

Antara Nama dan Sifat Allah, Ar Rohman dan Ar Rohim. Di antara kasih sayang Allah kepada hambaNya adalah menguji dengan keburukan. Di mana letak rahmatnya? Agar kita bersabar. Tidak ada keberhasilan di dunia ini kecuali sabar.

Orang yang berhasil mempertahankan rumah tangganya, padahal itu berat tantangannya, modalnya adalah sabar. Seseorang berhasil menyelesaikan studinya, modalnya adalah sabar. Orang yang berhasil dalam penelitiannya adalah sabar, dstnya.

Ketika diuji dengan kesulitan yang tidak menyenangkan, lalu dia bersabar, maka ia mendapatkan kehormatan dari Allah. Sebaik-baik hamba Allah yang sabar adalah Ayyub as.

QS Shaad 44: Sesungguhnya Kami dapati dia (Ayyub) seorang yang sabar. Dialah sebaik-baik hamba. Sungguh, dia sangat taat (kepada Allah).

Sesungguhnya seluruh urusan dalam kehidupan orang beriman adalah baik. Ketika diuji dengan keburukan ia bersabar, dan diuji dengan kebaikan ia bersyukur.

Sehingga tidak ada kontradiksi antara sifat Allah yang Maha Pengasih Maha Penyayang dengan ujian keburukan ini.

Di antara bentuk rahmat Allah, ketika Allah SWT menguji hambaNya dengan keburukan, takut, kelaparan, kekeringan, paceklik, redaksinya menggunakan syai’ (sedikit), karena hal itu masih terbilang kecil dibandingkan dengan rahmat Allah yang begitu besar.

Al Baqarah 155-157:
155. Dan Kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan.
156. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar, yaitu orang-orang yang apabila ditimpa musibah mereka berkata, sesungguhnya kami milik Allah dan kepada-Nyalah kami kembali.
157. Mereka itu, akan dikurniakan atas mereka anugerah-anugerah dari Tuhan mereka dan rahmat, dan mereka itulah orang-orang yang akan mendapat petunjuk.

2. Ujian kebaikan, dapat berupa;

1. kesehatan
2. kecukupan
3. kesejahteraan
4. kenikmatan2 yang bermacam2: seperti nikmat emmpunyai anak, ditingkatkan jabatannya, dipuji orang, dsbnya.

Tapi ingat, itu semata2 hanya ujian, sehingga tidak terlena.

Ketika diuji dengan kesulitan, ia ingat kepada Allah, tapi ketika diuji dnegan kekayaan, popularitas, tidak sedikit yang jatuh melupakan Allah.

Bahwasanya ujian yang berupa kemudahan, disebut Allah dengan ‘Adzhim (berat, besar, agung). Ternyata ujian yang berupa kemudahan itu lebih berat.

QS Al Baqarah 49: Dan (ingatlah nikmat Kami) ketika Kami menyelamatkan kamu dari (Fir'aun dan) pengikut-pengikut Fir'aun. Mereka menimpakan siksaan yang sangat berat kepadamu. Mereka menyembelih anak-anak laki-lakimu dan membiarkan hidup anak-anak perempuanmu. Pada yang demikian itu terdapat cobaan yang besar dari Tuhanmu

Ketika kita diberi ujian berupa kesehatan, kemenangan, kemudahan, sehingga kita tidak lalai. Karena tidak sedikit orang yang tergila2 dan lalai, sehingga yang diperjuangkan bukan lah ajaran Allah. Berani meninggalkan sholat, menyia-nyiakan ibadah. Lupa keberpihakannya kepada Islam, sehingga yang dikejar2 adalah kebutuhan materinya, lupa dengan kebutuhan ruhiyahnya.

Ketika kita diuji dengan kemudahan, ingatlah bahwa itu adalah ujian yang besar.

3. Ujian berupa perbedaan

Kita dibuat dalam perbedaan. Allah menguji manusia dalam keahliannya, anugrah Allah berbeda dalam rezekinya.

Jangankan dengan tetangga, saudara kandung saja bisa berbeda2. Rezekinya, kegantengannya, kecakepannya, suaranya, dsbnya, padahal bapak ibunya sama.

Ini memberikan pemahaman bahwa Allah menguji kita dengan perbedaan2. Rezekinya, pangkatnya, hartanya, kedudukan di masyarakatnya, semuanya berbeda2.

Ketika kita diuji oleh Allah dengan perbedaan2 dalam hal2 duniawi ini, maka kaum mukmin tidak boleh iri dengki.

Diuji juga dengan as sulthon (kekuasaan). Sama2 masuk organisasi, mungkin sudah 10 tahun, tapi kekuasaannya berbeda, padahal satu ormas, padahal satu partai. Ketika kita memahami ini adalah ujian Allah SWT, ini menjadikan peluang untuk menjadikan diri kita terbaik, dan yang terbaik adalah sabar.

Ketika Sulaiman as diuji dengan kekuasaan yang sangat luas, kekayaan yang menumpuk, pasukan yang sangat banyak, maka ia jawab ujian itu dengan rasa syukur kepada Allah dengan terus mengingat Allah.

Sebaik2nya hamba Allah yang bersyukur adalah Sulaiman, karena ia selalu mensyukuri nikimat2 Allah, sebagaimana Ayyub yang sabar dengan ujian kesulitan.

QS Shaad 30: Dan kepada Dawud Kami karuniakan (anak bernama) Sulaiman, dia adalah sebaik-baik hamba. Sungguh, dia sangat taat (kepada Allah).

Untuk apa adanya selisih, jarak antara diri kita dengan saudara kita? Tujuannya adalah agar nampak sejauh mana umat manusia ini dalam melaksanakan kewajibannya terhadap Allah SWT, terhadap Al Quran dan As Sunnah. Ketika diberikan harta, sejauh mana ia berinfak. Ketika manusia diberi harta yang lebih oleh Allah, lalu infak nya lebih banyak, berarti ia lulus. Ketika ia memiliki ilmu yang lebih, ia berikan ilmu itu tanpa ditutup2i, maka ia lulus. Karena ia tahu, menyembunyikan ilmu akan mendapatkan laknat Allah, laknatnya malaikat.

QS Al Baqarah 159: Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami menerangkannya kepada manusia dalam Al Kitab, mereka itu dilaknati Allah dan dilaknati (pula) oleh semua (mahluk) yang dapat melaknati.

Orang yang diberikan kebaikan ilmu, maka ia sampaikan. Ilmu ada zakatnya, yaitu disampaikan. Jangan disampaikan hanya yang menyenangkan masyarakat, sedangkan yang lainnya ditutup2i.


Senin, 25 Mei 2015

Urgensi Perluasan dan Peningkatan Kualitas Dakwah

Sebagai kaum muslimin, harus bangga ketika ia dimuliakan sebagai pendakwah. Karena dakwah adalah amal yang terbaik.
  
Apa urgensi perluasan dan peningkatan dakwah?

Ini penting, jangan sampai terjadi, dakwah sudah ratusan tahun, tapi kualitas tidak meningkat. Atau sebagian kecil kelompok dakwah yang bagus, tapi tidak meluas.

Sehingga dakwah yang awalnya hanya di Mekka sampai Madinah, terus meluas ke seluruh dunia.

1. Risalah dakwah adalah alamiyah (seluruh alam)

Tidak betul perkataan para orientalis, bahwa Islam adalah agama yang misinya untuk seluruh dunia, setelah pada masa para Sahabat Rasulullah. Ini tidak benar! Karena sejak awal diturunkan kepada Rasulullah, Islam sudah Allah tetapkan untuk seluruh alam.

QS Al Anbiya’ 107: Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam. 

QS Al Furqon 1: Mahatinggi Allah yang telah menurunkan Furqaan (Al Quran) kepada hamba-Nya (Muhammad), agar dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam (jin dan manusia),

Allah yang Maha Berkah yang menurunkan Al Quran sebagai pembeda antara yang haqq dan bathil, bagaimana pun dakwah ini menyebar ke seluruh dunia, kalau kita tidak bersungguh2 mengadakan perluasan dakwah.

Balighul anni walau aayah. Sampaikan walau hanya 1 ayat.

Sayang seribu sayang, masih ada penonton2 dakwah, ada juga yang hobinya mengkritisi, dan berkomentar saja.

Padahal, tidak ada penonton yang menang. Yang menang itu adalah pemain. Kita menjadi pemenang dakwah, walau kita tidak pernah bertemu Rasulullah, tapi kita berada satu gerbong dengan Nabi, yaitu gerbong dakwah.


2. Dakwah itu harus Rabbaniyah (sumbernya dan orientasinya adalah Allah)

Itu tidak akan terjadi jika tidak ada perluasan dakwah dan peningkatan kualitas dakwah.

QS Ali Imran 79: Jadilah kalian Rabbaniyyin kerana kalian mengajarkan al-Kitab dan kerana kalian tetap mempelajarinya.

Kuunuu robbaaniyyiina bimaa kuntum tu'allimuunal kitaaba wa bimaa kuntum tadrusuun

Akan jadi kalian semua Robbaniyyiin, caranya:
1. disebabkan kamu selalu mengajarkan kitab suci Al Quran ->perluasan dakwah
2. disebabkan kamu selalu belajar -> peningkatan kualitas dakwah

Ayat ini menarik, karena didahulukan mengajarkan, lalu belajar. Faktanya di dunia pada umumnya, orang itu belajar dulu barulah kemudian mengajarkan. Lalu apa hikmah dari ayat ini?

Ulama memberikan pencerahan, bila sesuatu kebaikan disebutkan terlebih dahulu, bahwa hal itu adalah hal yang urgensi. Di ayat ini, urgensi mengajarkan Al Quran didahulukan, daripada mempelajarinya. 

Misalkan dari 1000 orang jamaah yang hadir di ceramah ustads, berapa orang yang menyampaikan isi dakwah kepada yang tidak hadir? Sedangkan kemampuan seorang ustadz terbatas, sehingga tidak mampu menjangkau semua orang. Maka dari itu, kalau tidak disampaikan oleh jamaahnya, betapa ilmu itu tidak meluas.

Kita juga yang sudah berdakwah, jangan merasa cukup dengan ilmu kita.

Kalau aktifis dakwah tidak mau belajar lagi, lalu bagaimana caranya akitifs dakwah bisa menghadapi tantangan2 dakwah yang terus berkembang?

3. Kekokohan

Islam adalah agama yang sangat memperhatikan umatnya untuk selalu berjamaah. Islam tidak akan tegak bila tidak ditegakkan secara berjamaah.

Yang akan ditegakkan adalah Al Quran, sesuatu yang berat.

QS Al Muzammil 5: Sesungguhnya Kami akan menyampaikan kepadamu sesuatu yang berat.

Karena sesuatu yang berat harus dipikul bersama2. Dan dalam berjamaah itu ada keberkahan.

Jamaah yang kokoh ditandai dengan:

1. Iman yang kuat, pemimpin yang kuat, jamaahnya kuat

Pemimpin yang kuat saja tidak cukup, kalau jamaahnya tidak kuat.

Pemimpin yang kuat saja akan merasa dirinya saja yang berjasa, Padahal pemimpin tidak boleh mengungkit2 jasa dirinya.

Begitu juga ketika yang kuat adalah pengikutnya, sementara pemimpinnya lemah, maka yang akan terjadi adalah, pengikut2nya akan selalu protes kepada pemimpinnya.

Mereka yang belum matang pembinaannya. Sehingga dalam sejarah Islam pernah terjadi pemimpinnya terbunuh oleh pengikutnya.

2. Selalu sibuk dengan kerja
Bukan sibuk dengan sebatas pemikiran, sibuk dengan sebatas wacana. Karena Islam adalah agama amal. Seimbang antara perluasan daerah2 dakwah dengan peningkatan kualitas

3. Memahami karakter pertarungan.
Dakwah bukan sekedar mengajak, tapi juga ada pertaruangan antara haqq dan bathil.

Kita di dalam berdakwah harus benar2 memahami karakter pertarungan.

QS Al Anfal 73: Orang2 kafir itu sebagian yang satu dengan sebagian lainnya saling mendukung, jika kamu tidak bekerja sama, maka akan terjadi fitnah yang besar.

Harus ada keseimbangan antara perluasan dakwah dengan peningkatan kualitas dakwah. Semoga kita tetap istiqomah dalam membangun dakwah di jalan Nya.


Jumat, 22 Mei 2015

Solusi dari Problematika Pendidikan Anak

Dalam kajian sebelumnya, kita telah belajar bersama2 tentang pendidikan anak antara idealita dan realita. Menikmati bagaimana idealnya oendidikan itu, melahirkan manusia2 yang mencintai ilmu, manusia2 yang benar2 menjaga iffah (kehormatannya), itulah idealnya. Tapi faktanya, belum semua anak2 kita menikmati pendidikan itu. Itu lah problematikanya.

Bagaimana cara mengatasinya?

1. Keteladanan yang benar
Dari orang tua, guru, kakak seniornya di sekolah, adalah energy yang sangat kuat daya tariknya. Orang2 yang dulunya mengusir Nabi, akhirnya sebagian besar mereka menjadi pendukung2 Nabi. Jadi memang harus ada uswah (keteladanan).

Sebelum orang tua menyuruh anaknya sholat, maka orang tua harus lebih dulu melakukannya. Ketika ibu menyuruh anaknya menutup aurat, ibunya lebih dulu memberikan teladan. Teladan dalam berbicara dengan lawan jenis, dsbnya.

Keteladanan sebelum mendidik.

Di zaman dahulu, belum banyak orang2 yang mendapatkan titel2 kesarjanaan. Ulama2 yang tidak mendapatkan titel sebatas Tsanawiyah ini, memiliki santri2 yang rajin sholat. Karena keteladanan gurunya.

Jadi yang dilihat adalah keindahan akhlak orang tuanya, guru2nya, pemimpinnya.

Maka ketika Allah berfirman “wa innaka la alaa khuluqin adzhim (Dan sesungguhnya kamu (Muhammad) benar-benar berbudi pekerti yang agung.” lalu berikutnya Allah sebutkan “fasatub shirun wa yub shirun ” (Maka kelak kamu akan melihat dan mereka (orang-orang kafir) pun akan melihat). Ini maksudnya, keteladanan akhlaq mulia itu akan dilihat orang2.

Bukan melihat kepandaiannya dalam berceramah, dalam memberikan argumen2, walau semua itu penting, tapi yang paling penting adalah akhlaq yang baik.

Para wali songo yang diikuti oleh nenek moyang kita, dikarenakan akhlaq mereka yang baik.

Seharusnya pemimpin menjadi teladan. Setiap muslim itu menjadi cermin saudaranya. Al muslimu mr’atul akhy.

2. Kurikulum yang benar
Kurikulum yang komprehensif, seimbang, antara aqliyah (akalnya, pikirannya) dan ruhiyahnya (nurani, jiwa, mental spritualnya). Jangan sampai anak bangsa ini menjadi korban gonta ganti kurikulum. Memang kalau kurikulum kurang bagus harus diganti, tapi kalau sudah ada kurikulum yang bagus, jangan digonta ganti lagi.

At Taubah 122: Tidak sepatutnya bagi mu'minin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.

Tidak boleh orang2 Islam semuanya pergi berperang, pergi bekerja, jadi harus ada orang2 yang tetap tinggal, yang memikirkan bagaimana membuat kurkulum memndidik.

Tidak semua sahabat menjadi ahli tafsir, tidak semuanya menjadi ahli bisnis, tapi ada juga yang seperti Salman Al Farisi atau Khalid bin Walid. Ini tandanya, kurkulum itu harus benar.

Jangan sampai anak dididik lalu menjadi tidak punya malu lagi membuka auratnya. Jangan sampai anak dididik lalu menjadi nekat. Berbeda antara nekat dengan saja’ah (berani).

Jangan sampai lahir anak bangsa yang parsial dalam pemahaman.

Kurikulum yang benar adalah yang seimbang. Tidak bermaksud dikotomi antara satu pelajaran dengan yang lain. Misalnya, kalau buku ekonomi, ratusan halaman, sedangkan buku agama, hanya puluhan halaman. Ini tidak seimbang.

Harusnya pelajaran agama itu juga merinci tentang sah nya sholat, sahnya zakat, dll.

3. Tujuan yang benar
Ijazah itu penting, tapi tujuan anak untuk menuntut itu hanya semata2 dalam rangka mendapatkan ridho Allah, mendapat surga Allah di akhirat nanti. 

Kalau tujuan pendidikan adalah ijazah, maka ketika ujian, ia malah menyontek. Yang membantu menyontek adalah orang tuanya. Naudzubillah.

Barang siapa yang curang, tidak akan termasuk ummat Rasulillah SAW.

4. Lingkungan yang sehat, kondusif
Kenapa lingkungan? Karena lingkungan sangat menentukan kepribadian anak kita. Manusia itu anak lingkungannya. Ketika lingkungannya soleh, maka anak kita menjadi soleh.

Itu lah ketika Rasulullah ditinggal mati ayahandanya, lalu dicarikan orang yang menyusuinya di lingkungan yang bersih. Maka dari itu Nabi berbahasa Arab yang baik, karena dibesarkan di lingkungan yang berbahasa Arab yang baik

5. Mutabaah (monitoring/pengawasan) terus menerus.
Anak adalah anak, selalu membutuhkan mutabaah (dimonitor perkembangannya)
Jangankan anak yang masih kecil, atau pun remaja yang sudah barang tentu masih labil, anak kita yang sudah berumah tangga saja, perlu tetap di mutabaah. Apakah rumah tangganya rukun bahagia.

Apalagi anak SMP, harus diketahui, anak ini di jam sekolah, apakah ada di sekolah atau ada di mall.

Sahabat2 Rasulullah pun masih dimutabaah, “siapa yang hari ini sudah memberikan infaq, siapa yang hari ini menyolatkan jenazah, dsbnya.” Selalu yang menjawab saya ya Rasulullah adalah Abu Bakar.

Nabi saja masih terus memutabaah binaannya, apalagi kita. Jangan sampai ada orang tua yang menganggap, yang penting sudah bayar SPP, yang penting sudah bayar infaq, dsbnya. Tidak! Kita harus tetap mutabaah (monitoring terus menerus) anak2 kita.

Sudah barang tentu, walau tanggungjawab terbesar adalah orang tua, tapi guru2 adalah mitra terbaik bagi para orang tua. Ini adalah amal jama’I, yaitu bekerja sama dan sama2 bekerja.

Pengawasan yang terus menerus (mutabaah) harus juga muncul dari masyarakat. Masyarakat juga tidak boleh diam melihat kalau ada anak yang tawuran, dsbnya. Kalau ada rumah kebarakan, lalu dia berkata, itu tidak bukan rumah saya, maka rumah berikut2nya, rumah siapa yang akan terbakar.

Mungkin anak itu di depan orang tua, soleh. Mau pergi, dia pamit cium tangan. Tapi siapa yang tahu, di luar sana ia bergaul dengan siapa.

Yang terpenting juga adalah pemerintah. Karena pemerintah mengeluarkan hukum2.


Insya Allah dalam kesungguhan ini kita diberikan kemudahan dalam pendidikan bangsa ini.

Kamis, 21 Mei 2015

Pendidikan Anak dalam Idealita dan Realita


Sebaik2 umat yang ditampilkan untuk seluruh umat manusia, itu lah kaum muslimin yang dididik oleh Al Quran.

1. Mempunyai ilmu
Anak2 kita harus berilmu. Ketika disebut ilmu di dalam Al Quran, adalah setiap ilmu yang bermanfaat untuk dunia kita dan akhirat kita. Untuk menggambarkan betapa pentingnya ilmu, adalah ayat yang pertama turun adalah ‘iqro’ (Bacalah).

Di dalam Islam, tidak ada dikotomi antara ilmu umum dengan ilmu agama. Kalau pun ada itu sekedar penamaan saja.

Dalam mengerjakan ujiannya, benar, karena dia berilmu. Tapi tidak semua anak2 kita memiliki idealitas seperti itu. Realitasnya, anak2 kita tidak paham, terutama tentang agama.

Bagaimana anak2 kita emmahami Al Quran, Sunnah, Siroh Nabawiyah, Bahasa Arab, dsbnya, kalau mereka hanya mendapatkannya hanya sepekan sekali.

2. Manusia2 yang cinta untuk beramal, memproduksi kebaikan2.

At Taubah 105: Dan Katakanlah: "Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu,

Begitu anak kita dididik di dalam rumah kita, sekolah, atau perguruan tinggi, maka akan mengamalkan apa yang dia ketahui.

Sahabat Rasulullah mengatakan, “Kami para sahabat tidak pernah melewati 10 ayat tanpa mengamalkannya terlebih dahulu.”

Adanya sinkronisasi antara ilmu dan amalnya, itulah idealitasnya.

Anak tingkat SD, amalannya sesuai tingkatannya, Seterusnya hingga tingkat kuliah, guru, dosen, mestinya amalnya semakin tinggi.

Ketika sekolah di MTs, MA, pesantren, mereka rajin sholat QL, dsbnya, tapi ketika di perguruan tinggi mereka meninggalkan amal2 itu. Malah yang banyak adalah bicaranya. Kita takut akan lahir pemimpin2 yang banyak bicara sedikit bekerja. Yang benar adalah sedikit bicara banyak bekerja, bukan sebaliknya.

Islam adalah agama kerja. Sehingga anak2 kaum muslimin adalah anak2 yang suka bekerja, termasuk bekerja yang mencari nafkah. Ini harus dipersiapkan, harus dididik.

Mari kita renungi, apakah realitasnya sudah seperti ini? Fenomena anak2 yang sudah baligh (masuk SMP), berarti dia sudah siap untuk mandiri, tapi ia tidak juga bsia bekerja. Jangan sampai orang tua lamban dalam mempersiapkan anak2nya.

Allah mampu menjadikan Nabi kaya ketika masih remaja? Mampu! Tapi kenapa ketika masih kecil sudah menjadi anak yatim dan ketika masih remaja, Rasulullah menjadi penggembala kambing, dilatih untuk bekerja. Dan semua Nabi ketika remajanya adalah penggembala kambing.

Bukan berarti orang tua tidak boleh berbuat baik kepada anak. Tapi tidak boleh melupakan pembinaan dalam kemandirian anak. Kalau selalu dimanjakan, anak ini akan lamban dalam kedewasaan.

Ketika masih SD sudah dididik untuk membantu orang tuanya dalam pekerjaan rumah tangganya.

3. Kekuatan
Idealnya dalam pendidikan anak kita, anak2 kita harus menjadi pemuda yang kuat.

Nabi bersabda, “Seorang mukmin yang kuat, lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah daripada mukmin yang lemah.”

Sekarang kita tanya, sudahkah anak kita kuat akidahnya. Apakah ketika anak kita mencintai batu akik, itu sekedar mencintai saja, atau sudah terjatuh pada ghuluw (lebay), sehingga jatuh dalam syirik meyakini bahwa batu akik itu memiliki kekuatan yang luar biasa.

Jangankan anak, bahkan mungkin ada sebagian orangtuanya yang tergila2 dalam batu akik.

Allah adalah jamil, indah. Maka Allah hanya menyuruh yang indah. Bagaimana anak2 kita menjadi kuat, sedangkan makanan anak kita adalah makanan yang tidak sehat. Makanan yang tidak bergizi, yang hanya mendahulukan selera.

Untuk menjadikan anak2 kita kuat, itu dimulai dari perhatian orang tua. Kita harus selalu menjaga diri kita, anak2 kita dan keluarga kita dari bara api neraka yang menyala2.

At Tahrim 6: Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu;

Semoga anak2 kita dijauhkan dari sesuatu yang haram, atau bahkan dari sesuatu yang makruh.

Idealnya, anak2 bangsa ini adalah anak2 yang terjaga afiifah (kehormatan)-nya. Anak2 kita harus afiif, menjaga kehormatannya, agar tidak ternodai oleh manusia2 durjana. Sehingga pemimpin2 kita adalah orang2 yang bersih akhlaqnya, ucapannya, pikirannya, pakaiannya.

Hai orang2 yang beriman, bertaqwalah kamu kepada Allah, dan berkatalah dengan perkataan yang syadiid (benar).

Sehingga kita tidak lagi mendengar anak2 yang berkata kotor, dsbnya. Meskipun tidak semuanya seperti itu, kita juga mendengar anak2 yang hafal Al Quran, tapi tidak semua kenyataanya seperti itu. Tapi ada juga realitas yang tidak bisa kita pungkiri.

4. Kenal nidzham (rapi, disiplin)

Disiplin kapan dia pergi sekolah, disiplin kapan dia pulang sekolah. INi ada anak2 yang jam sekolah malah pergi ke Mall. Malam2 kita ke masjid, masih ada anak2 ini nongkrong di pinggir jalan, dsbnya.

Berarti ini adalah PR kita sebagai orang tua, sebagai guru.

Ini adalah hal yang sangat krusial, sangat mahal, yang harus mendapatkan perhatian. Jangan sampai pendidikan anak2 hanya mendapatkan sisa2. Sisa waktu, sisa dana, sisa program, tidak!

Kalau ingin Negara ini menjadi Negara yang rakyatnya santun, ramah, itu semua harus dimulai dari pendidikan.

Pendidikan harus benar2 ideal. Ideal dalam Islam juga harus sesuai dengan realitas manusia dan kemanusiaan. Bukan realitass yang diciptakan oleh bangsa2 lain untuk bangsa kita melalui narkoba, seks bebas, dsbnya.

Semoga ini menjadi bahan renungan kita, bahan untuk kesungguhan kita dalam membangun bangsa ini dalam kaidah2 yang benar, dan oleh para SDM yang berkualitas. Sehingga Indonesia menjadi Negara besar, yang diperhitungkan oleh negara2 seluruh dunia. Dan ini bukan sebatas angan2 kosong belaka.

Kita jangan berbuat kejahatan di dalam dunia pendidikan.


Ketika idealism tidak sesuai dengan realitas yang ada, itu lah yang disebut dengan problematika. Bagaimana caranya, insya Allah akan kita lanjutkan dalam pembahasan2 berikutnya.

Rabu, 20 Mei 2015

Menyatukan Langkah dalam Dakwah

Al Quran adalah kitab dakwah, karena Al Quran itu lah yang didakwahkan oleh Rasulullah SAW.

Ini berbeda dengan Rasul2 terdahulu. Kalau Musa as mukjizatnya adalah tongkat, tapi itu bukan dakwahnya. Kalau Isa as mukjizatnya adalah menyembuhkan orang, tapi bukan itu dakwahnya. Kalau Ibrahim as mukjizatnya adalah tidak terbakar ketika dibakar, tapi bukan itu dakwahnya.

Alhamdulillah, kita harus syukuri negri yang subur ditanami pohon dakwah ini. Pagi2 kita sudah mendengarkan kajian keIslaman seperti ini. Nanti siang juga ada, sore juga ada. Dan itu terjadi di mana2, di kampus, di perkantoran, dll. Ini adalah nikmat yang sangat besar.

Di sisi yang lain, kita sudah barang tentu belum puas. Apa yang masih menjadi PR kita? Yaitu adanya begitu banyaknya ormas2 Islam, ulama2 Islam, itu semuanya adalah nikmat. Tapi yang kita khawatirkan adalah, mereka berjalan sendiri2, tidak ada kesatuan langkah.

Kalau itu terjadi, maka energy umat yang sangat besar ini akan berkurang. Karena kekuatan ummat itu ada dalam berjamaah. Barokah Allah turun pada jamaah.

Bagaimana menyatukan langkah2 kita?

1. Menyatukan tujuan, orientasi, visi misi kita
Tempat bisa berbdea, bahkan organisasi bisa berbeda. Tetapi bila orientasi sama, maka kita disatukan dalam satu gerbong yang sama dengan para Nabi dan Rasul.

An Nahl 125: Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik.

Yusuf 128: Katakan ini jalanku, aku mengajak manusia

Jadi kalau berdakwah, jangan orientasinya mengikuti ustadz kami, golongan kami, ormas kami. Kalau kepada individu, maka akan melahirkan masyarakat yang kultus kepada gurunya, pemimpinnya, padahal dakwah itu bukan seperti itu.

Dakwah adalah amal yang sangat mulia. Orientasi kita dalam dakwah haruslah sama, yaitu membentuk manusia2 yang Robbaniyyin, yang orientasinya adalah kepada Allah. Itulah sebabnya kenapa Musa as melarang umatnya untuk menyembah dirinya.

Ali Imran 79: Tidak wajar bagi seseorang manusia yang Allah berikan kepadanya Al Kitab, hikmah dan kenabian, lalu dia berkata kepada manusia: “Hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembahku bukan penyembah Allah.” Akan tetapi (dia berkata): “Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, karena kamu selalu mengajarkan Al Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya. Dan (tidak wajar pula baginya) menyuruhmu menjadikan malaikat dan para nabi sebagai tuhan. Apakah (patut) dia menyuruhmu berbuat kekafiran di waktu kamu sudah (menganut agama) Islam?

Nabi saja tidak boleh menjadikan kaumnya sebagai penyembah2 dirinya. Apalagi kita, sebagai aktifis dakwah. Marilah kita satukan langkah, yaitu orientasi kita hanya menjadikan manusia2 hanya menyembah kepada Allah.

2. Menyatukan prinsip.
Seluruh prinsip aktifis dakwah dari dulu sampai sekarang adalah Laa ilaa ha illallaah.

Kita diciptkan hanya dalam rangka beribadah kepada Allah. Maka ketika seluruh aktifis dakwah prinsipnya sama, maka kita akan dimudahkan oleh Allah menyatukan langkah2 berikutnya.

Maka setiap Nabi dan setiap Rasul diutus oleh Allah SWT membawa prinsip ini, “taatilah Allah dan jauhilah thaghut”

Adapun hal2 yang cabang2, seperti sarananya seperti apa, dll itu bisa berbeda2.

Sebagian ulama ada yang membangun pesantren2 agar hafal Al Quran. Sebagian ulama2 membangun Rumah Sakit. Sebagian ulama2 membangun aqidah yang kuat. Dan saudara2 yang lain mentarbiyah masyarakat agar politiknya kuat, ekonominya kuat, pendidikannya kuat, dan itu semuanya adalah bagus.

3. Manhaj (ajarannya) harus sama, yaitu Islam
Jangan sampai yang didakwahkan adalah mimpinya, lamunannya.

Ilmu yang sebenarnya itu adalah firman Allah, dan cara yang benar adalah cara Nabi. Disertai dengan pemahaman Bahasa Arab, karena AL Quran dan As Sunnah disampaikan dalam Bahasa Arab.

4. Kesatuan timbangan, tolak ukur, paradigm

Timbangan yang pasti benar, yang menjadi acuan kita bersama, adalah timbangan langit.

Surat ‘Abasa, ketika nabi dengan semangat mendakwahi tokoh2 Quraisy, dan ini demi dakwah Islam, bukan untuk kepentingan Nabi. Lalu datang sahabat yang buta, dan santun, meminta agar diajarkan sebagian ilmu yang Nabi miliki. Nabi tidak menjawab, karena sibuk mendakwahi elit2 Quraisy. Logikanya, kalau elit2 Quraisy mau terima dakwah ini akan mendukung dakwah Nabi di periode Mekka yang saat itu umat Islam diintimidasi. Tapi Nabi tidak segera menanggapi pertanyaan Abdullah Ibnu Maktum, bahkan Rasulullah bermuka masam.

Lalu Allah menegur, yaitu dengan timbangan yang benar, yang bernama wahyu. “Abasa wata wallaa… (Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling).

Karena Abdullah ibnu Maktum, memang orang yang buta, miskin, tapi seluruh jiwanya diserahkan untuk dakwah, dia datang untuk membersihkan dirinya. Sedangkan para pembesar Quraisy itu datang dengan sekedar basa basi.

Rasulullah, yaitu guru terbaik, murabiyyah yang termulia itu, ditegur oleh Allah. Ini menandakan, bahwa se-senior apa pun seseorang, maka ia harus bersedia diberi nasehat dengan nasehat Robbani.

Kita mengira pendapat kita, analisa kita lebih hebat?

Naudzubillahi min dzalik.

Ketika seseorang meyakini pendapat gurunya tidak begitu kuat, maka dia akan berkata, “saya mencintai guru saya, tapi saya mengikuti Allah dan Rasulullah.”

Kita bisa berbeda, dalam hal2 yang bersifat cabang, tapi timbangan kita harus tetap satu.

5. Kesatuan sikap
Pembelaannya kepada kebenaran, bukan kepada kepentingan.


Sudah barang tentu kita optimis, selama umat Islam berpegang pada Al Quran dan As Sunnah, maka kita akan diselamatkan oleh Allah SWT.