Kamis, 06 November 2014

Jalan Menuju Kebahagiaan (Bagian ke 4)

1. Tidak menginginkan syukur (terima kasih) kecuali dari Allah SWT
Ketika kita berbuat keibaikan, maka orientasi kita semata2 karena Allah. Jangan sekali2 berbuat baik kepada orang, tujuannya agar orang berterima kasih kepada kita. Kita akan capek dalam hidup ini. Kalau kita berharap kebaikan semata2 dari Allah SWT kita akan bahagia.

Bukankah di masyarakat, sering kita temui seseorang membantu adeknya, saudaranya, tetangganya, dengan bantuan yang amat banyak, dan ketika orang yang diberi bantuan itu menjadi orang hebat dan lupa berterima kasih kepadanya, lalu bila ia tidak melihat hal ini dengan kacamata Allah, maka diungkit2 kebaikannya itu, maka rontoklah kebaikan2nya itu.

Oleh sebab itu Allah SWT telah memberi petunjukNya, agar ketika kita memberi makan kepada seseorang, kita tidak mengharapkan balasan dan kata terima kasih darinya.
QS Al Insan 9: “Sesungguhnya kami memberi makan kepada kalian, semata2 karena Allah. Kami tidak menginginkan balasan dari kalian dan juga bukan terima kasih.”

Kebaikan di sini jangan hanya dianggap dengan memberi makan saja, tapi apa bisa berupa apa saja. Makanan di sini adalah gambaran kepedulian kepada orang yang lapar.
Selama kita bisa memberikan kebaikan kepada yang membutuhkan, berikanlah, karena itu jalan menuju kebahagiaan. Kalau kita memberi, jangan berharap balasannya lebih banyak, “walaa tan num tastaktsir.”

2. Memfokuskan pikiran kita, perhatian kita untuk bekerja membangun demi hari ini dan hari yang akan datang, dan memutus rantai masa lalu.
Hidup ini tidak selamanya mulus. Suami memiliki masa lalu yang tidak menyenangkan, istri juga. Dalam berbangsa dan bernegara ini juga ada hubungan2 masa lalu yang tidak menyenangkan. Kita tidak boleh mengungkit2 masa lalu.

Apa jadinya hidup ini kalau ada manusia yang mengungkit2 masa lalu, lalu meledakkan hidup ini. Ini bukan berarti kita melupakan masa lalu, tapi kita hidup untuk masa yang akan datang.

Doa yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Hadist: “Allahumma ini a’udzu bika minal hammi wal hazn, wa a ‘uudzu bika minal ‘ajzi wal kasl, wa a’uudzu bika minal jubni wal bukhl, wa a ‘uudzu bika min gholabatid daini wa qoh rirrijaal.”

Dalam doa ini kita berdoa pada Allah, berlindung dari rasa sedih, dari ketidaktenangan, ketidakjelasan, dan minta perlindungan kepada Allah dari rasa lemas dan malas, minta perlindungan kepada Allah dari sifat kikir, dan minta perlindungan pada Allah dari lilitan orang atau bangsa lain.

Sebelum kita berpikir dan berharap apakah doa itu dikabulkan atau tidak, dan semoga doa2 kita dikabulkan, kita harus pahami, bahwa doa itu sangat penting, terlepas apakah akan dipercepat dikabulkannya atau tidak. Karena:
1. doa itu ibadah
2. ketika kita berdoa maka harus kita barengi dengan kerja.
Ibrahim as, bapaknya para nabi, ketika berdoa agar dirinya dan anak2nya menjadi muslim, maka dibarengi dengan kerja, yaitu membangun kabah.

Jangan sampai doa kita bertolakbelakang dengan kerja. Kita ingin punya anak soleh, tapi pendidikannya tidak Islami, dan pergaulannya tidak bersama2 orang soleh. Jika ingin anak kita sholeh/ah, maka pendidikannya harus yang Islamy dan teman2nya juga harus yang benar.

Maka kita harus buktikan, jangan menangisi masa lalu. Kita focus bangkit membangun masa depan. Siapa yang tidak punya masa lalu yang buruk? Setiap manusia anak adam pasti pernah berbuat salah. Tapi anak manusia yang berbuat salah, bisa bangkit menjadi berbuat yang terbaik. Jangan diungkit2 masa lalunya. Kita focus demi kebangkita masa depan bangsa ini.

Di dalam hadist yang diriwayatkan oleh imam muslim, Rasulullah bersabda: “Orang Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih disukai Allah daripada orang Mukmin yang lemah. Masing-masing ada kebaikannya. Bersemangatlah untuk mengerjakan sesuatu yang bermanfaat bagi dirimu, serta mohonlah pertolongan kepada Allah dan jangan menjadi orang lemah! Jika kamu tertimpa sesuatu, janganlah mengucapkan, ‘Seandainya saya berbuat begini tentu akan terjadi begini dan begitu’ tetapi katakanlah, ‘Allah telah menakdirkannya; apa yang telah dikehendaki-Nya pasti akan terjadi, karena sesungguhnya kata ‘seandainya’ itu membuka jalan bagi setan.”

Jadi kita harus bangkit, jangan terjatuh dalam kubangan “seandainya seandainya”.
Ini bukan berarti kita tidak mempunyai penyesalan, atas apa2 yang sudah kita lakukan sebelumnya.

Bila kita berbuat salah, kita harus menyesal. Karena salah satu ciri2 tobatnya seseorang adalah menyesali kesalahannya. Kita menyesali masa lalu, tujuannya adalah memperbaiki diri sendiri.
QS Al Qiyamah 2: “Walaa uq simu binnafsil lawwaamah” (dan Aku bersumpah demi jiwa yang selalu menyesali (dirinya sendiri).

Allah bersumpah dengan jiwa manusia yang mencela dirinya kenapa berbuat keburukan.
Di antara ciri manusia yang akan berubah menuju lebih baik adalah, manusia itu menyesali masa lalunya.

Jiwa yang mencela dirinya karena berbuat salah, itu adalah proses menuju jiwa yang istiqomah. Karena orang yang tadinya berbuat salah itu, tidak ujug2 langsung berubah, tapi harus didahului dengan penyesalan2: “Kenapa saya dulu tidak rajin sholat, kenapa saya dulu tidak rajin belajar membaca Al Quran, dsb”

Jiwa yang lawwaamah (menyesali diri) adalah proses menuju jiwa yang tenang.
Fokus memikirkan masa depan yang lebih baik, ini adalah ciri manusia yang bahagia hidupnya. Keluarga yang bahagia adalah yang focus pada masa depan. Bukan suami yang mengungkit2 masa lalu istrinya. Negara yang besar adalah Negara yang focus pada masa depan, dan mengambil pelajaran dari masa lalu, karena mukmin yang benar tidak akan jatuh ke dalam lubang yang sama sampai dua kali.

Ini harus kita renungi, apabila dalam berkeluarga, berbisnis, berpendidikan, berpolitik, kita sudah merasa pernah melakukan kesalahan, maka jangan diulangi.
Jika kita sudah merasakan pemimpin yang dzholim, jangan jatuh dalam memilih pemimpin yang dzholim lagi. Jika kamu telah menempati tempat2 yang dulunya orang2 yang duduk di situ mendzholimi dirinya, lalu orang2 yang zholim itu telah pergi, maka jangan sampai kamu menggantikan posisinya mengulangi kedzholiman, jangan ulangi kesalahan masa lalu, untuk itu focus pada masa depan.

Rasulullah tidak pernah mengungkit2 masa lalu Kholid bin Walid, padahal dalam perang Uhud, Kholid bin Walid masih dalam posisi sebagai musuh Nabi, tapi ketika ia sudah masuk Islam tidak pernah Nabi ungkit2 masa lalu Kholid. Nabi tidak menjatuhkan mental orang2 yang sudah bertaubat.
Kita semua harus fokus membangun masa depan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar