Jumat, 22 Mei 2015

Solusi dari Problematika Pendidikan Anak

Dalam kajian sebelumnya, kita telah belajar bersama2 tentang pendidikan anak antara idealita dan realita. Menikmati bagaimana idealnya oendidikan itu, melahirkan manusia2 yang mencintai ilmu, manusia2 yang benar2 menjaga iffah (kehormatannya), itulah idealnya. Tapi faktanya, belum semua anak2 kita menikmati pendidikan itu. Itu lah problematikanya.

Bagaimana cara mengatasinya?

1. Keteladanan yang benar
Dari orang tua, guru, kakak seniornya di sekolah, adalah energy yang sangat kuat daya tariknya. Orang2 yang dulunya mengusir Nabi, akhirnya sebagian besar mereka menjadi pendukung2 Nabi. Jadi memang harus ada uswah (keteladanan).

Sebelum orang tua menyuruh anaknya sholat, maka orang tua harus lebih dulu melakukannya. Ketika ibu menyuruh anaknya menutup aurat, ibunya lebih dulu memberikan teladan. Teladan dalam berbicara dengan lawan jenis, dsbnya.

Keteladanan sebelum mendidik.

Di zaman dahulu, belum banyak orang2 yang mendapatkan titel2 kesarjanaan. Ulama2 yang tidak mendapatkan titel sebatas Tsanawiyah ini, memiliki santri2 yang rajin sholat. Karena keteladanan gurunya.

Jadi yang dilihat adalah keindahan akhlak orang tuanya, guru2nya, pemimpinnya.

Maka ketika Allah berfirman “wa innaka la alaa khuluqin adzhim (Dan sesungguhnya kamu (Muhammad) benar-benar berbudi pekerti yang agung.” lalu berikutnya Allah sebutkan “fasatub shirun wa yub shirun ” (Maka kelak kamu akan melihat dan mereka (orang-orang kafir) pun akan melihat). Ini maksudnya, keteladanan akhlaq mulia itu akan dilihat orang2.

Bukan melihat kepandaiannya dalam berceramah, dalam memberikan argumen2, walau semua itu penting, tapi yang paling penting adalah akhlaq yang baik.

Para wali songo yang diikuti oleh nenek moyang kita, dikarenakan akhlaq mereka yang baik.

Seharusnya pemimpin menjadi teladan. Setiap muslim itu menjadi cermin saudaranya. Al muslimu mr’atul akhy.

2. Kurikulum yang benar
Kurikulum yang komprehensif, seimbang, antara aqliyah (akalnya, pikirannya) dan ruhiyahnya (nurani, jiwa, mental spritualnya). Jangan sampai anak bangsa ini menjadi korban gonta ganti kurikulum. Memang kalau kurikulum kurang bagus harus diganti, tapi kalau sudah ada kurikulum yang bagus, jangan digonta ganti lagi.

At Taubah 122: Tidak sepatutnya bagi mu'minin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.

Tidak boleh orang2 Islam semuanya pergi berperang, pergi bekerja, jadi harus ada orang2 yang tetap tinggal, yang memikirkan bagaimana membuat kurkulum memndidik.

Tidak semua sahabat menjadi ahli tafsir, tidak semuanya menjadi ahli bisnis, tapi ada juga yang seperti Salman Al Farisi atau Khalid bin Walid. Ini tandanya, kurkulum itu harus benar.

Jangan sampai anak dididik lalu menjadi tidak punya malu lagi membuka auratnya. Jangan sampai anak dididik lalu menjadi nekat. Berbeda antara nekat dengan saja’ah (berani).

Jangan sampai lahir anak bangsa yang parsial dalam pemahaman.

Kurikulum yang benar adalah yang seimbang. Tidak bermaksud dikotomi antara satu pelajaran dengan yang lain. Misalnya, kalau buku ekonomi, ratusan halaman, sedangkan buku agama, hanya puluhan halaman. Ini tidak seimbang.

Harusnya pelajaran agama itu juga merinci tentang sah nya sholat, sahnya zakat, dll.

3. Tujuan yang benar
Ijazah itu penting, tapi tujuan anak untuk menuntut itu hanya semata2 dalam rangka mendapatkan ridho Allah, mendapat surga Allah di akhirat nanti. 

Kalau tujuan pendidikan adalah ijazah, maka ketika ujian, ia malah menyontek. Yang membantu menyontek adalah orang tuanya. Naudzubillah.

Barang siapa yang curang, tidak akan termasuk ummat Rasulillah SAW.

4. Lingkungan yang sehat, kondusif
Kenapa lingkungan? Karena lingkungan sangat menentukan kepribadian anak kita. Manusia itu anak lingkungannya. Ketika lingkungannya soleh, maka anak kita menjadi soleh.

Itu lah ketika Rasulullah ditinggal mati ayahandanya, lalu dicarikan orang yang menyusuinya di lingkungan yang bersih. Maka dari itu Nabi berbahasa Arab yang baik, karena dibesarkan di lingkungan yang berbahasa Arab yang baik

5. Mutabaah (monitoring/pengawasan) terus menerus.
Anak adalah anak, selalu membutuhkan mutabaah (dimonitor perkembangannya)
Jangankan anak yang masih kecil, atau pun remaja yang sudah barang tentu masih labil, anak kita yang sudah berumah tangga saja, perlu tetap di mutabaah. Apakah rumah tangganya rukun bahagia.

Apalagi anak SMP, harus diketahui, anak ini di jam sekolah, apakah ada di sekolah atau ada di mall.

Sahabat2 Rasulullah pun masih dimutabaah, “siapa yang hari ini sudah memberikan infaq, siapa yang hari ini menyolatkan jenazah, dsbnya.” Selalu yang menjawab saya ya Rasulullah adalah Abu Bakar.

Nabi saja masih terus memutabaah binaannya, apalagi kita. Jangan sampai ada orang tua yang menganggap, yang penting sudah bayar SPP, yang penting sudah bayar infaq, dsbnya. Tidak! Kita harus tetap mutabaah (monitoring terus menerus) anak2 kita.

Sudah barang tentu, walau tanggungjawab terbesar adalah orang tua, tapi guru2 adalah mitra terbaik bagi para orang tua. Ini adalah amal jama’I, yaitu bekerja sama dan sama2 bekerja.

Pengawasan yang terus menerus (mutabaah) harus juga muncul dari masyarakat. Masyarakat juga tidak boleh diam melihat kalau ada anak yang tawuran, dsbnya. Kalau ada rumah kebarakan, lalu dia berkata, itu tidak bukan rumah saya, maka rumah berikut2nya, rumah siapa yang akan terbakar.

Mungkin anak itu di depan orang tua, soleh. Mau pergi, dia pamit cium tangan. Tapi siapa yang tahu, di luar sana ia bergaul dengan siapa.

Yang terpenting juga adalah pemerintah. Karena pemerintah mengeluarkan hukum2.


Insya Allah dalam kesungguhan ini kita diberikan kemudahan dalam pendidikan bangsa ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar