Solusi dari Problematika Pendidikan Anak
Dalam kajian sebelumnya, kita telah belajar
bersama2 tentang pendidikan anak antara idealita dan realita. Menikmati
bagaimana idealnya oendidikan itu, melahirkan manusia2 yang mencintai ilmu,
manusia2 yang benar2 menjaga iffah (kehormatannya), itulah idealnya. Tapi
faktanya, belum semua anak2 kita menikmati pendidikan itu. Itu lah
problematikanya.
Bagaimana cara mengatasinya?
1. Keteladanan yang benar
Dari orang tua, guru, kakak seniornya di
sekolah, adalah energy yang sangat kuat daya tariknya. Orang2 yang dulunya
mengusir Nabi, akhirnya sebagian besar mereka menjadi pendukung2 Nabi. Jadi
memang harus ada uswah (keteladanan).
Sebelum orang tua menyuruh anaknya sholat,
maka orang tua harus lebih dulu melakukannya. Ketika ibu menyuruh anaknya
menutup aurat, ibunya lebih dulu memberikan teladan. Teladan dalam berbicara
dengan lawan jenis, dsbnya.
Keteladanan sebelum mendidik.
Di zaman dahulu, belum banyak orang2 yang
mendapatkan titel2 kesarjanaan. Ulama2 yang tidak mendapatkan titel sebatas
Tsanawiyah ini, memiliki santri2 yang rajin sholat. Karena keteladanan gurunya.
Jadi yang dilihat adalah keindahan akhlak
orang tuanya, guru2nya, pemimpinnya.
Maka ketika Allah berfirman “wa innaka la
alaa khuluqin adzhim (Dan sesungguhnya kamu (Muhammad) benar-benar berbudi
pekerti yang agung.” lalu berikutnya Allah sebutkan “fasatub shirun wa yub
shirun ” (Maka kelak kamu akan melihat dan mereka (orang-orang kafir) pun akan
melihat). Ini maksudnya, keteladanan akhlaq mulia itu akan dilihat orang2.
Bukan melihat kepandaiannya dalam
berceramah, dalam memberikan argumen2, walau semua itu penting, tapi yang
paling penting adalah akhlaq yang baik.
Para wali songo yang diikuti oleh nenek
moyang kita, dikarenakan akhlaq mereka yang baik.
Seharusnya pemimpin menjadi teladan. Setiap
muslim itu menjadi cermin saudaranya. Al muslimu mr’atul akhy.
2. Kurikulum yang benar
Kurikulum yang komprehensif, seimbang,
antara aqliyah (akalnya, pikirannya) dan ruhiyahnya (nurani, jiwa, mental
spritualnya). Jangan sampai anak bangsa ini menjadi korban gonta ganti
kurikulum. Memang kalau kurikulum kurang bagus harus diganti, tapi kalau sudah
ada kurikulum yang bagus, jangan digonta ganti lagi.
At Taubah 122: Tidak sepatutnya bagi
mu'minin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari
tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam
pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya
apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga
dirinya.
Tidak boleh orang2 Islam semuanya pergi
berperang, pergi bekerja, jadi harus ada orang2 yang tetap tinggal, yang
memikirkan bagaimana membuat kurkulum memndidik.
Tidak semua sahabat menjadi ahli tafsir,
tidak semuanya menjadi ahli bisnis, tapi ada juga yang seperti Salman Al Farisi
atau Khalid bin Walid. Ini tandanya, kurkulum itu harus benar.
Jangan sampai anak dididik lalu menjadi
tidak punya malu lagi membuka auratnya. Jangan sampai anak dididik lalu menjadi
nekat. Berbeda antara nekat dengan saja’ah (berani).
Jangan sampai lahir anak bangsa yang
parsial dalam pemahaman.
Kurikulum yang benar adalah yang seimbang.
Tidak bermaksud dikotomi antara satu pelajaran dengan yang lain. Misalnya,
kalau buku ekonomi, ratusan halaman, sedangkan buku agama, hanya puluhan
halaman. Ini tidak seimbang.
Harusnya pelajaran agama itu juga merinci
tentang sah nya sholat, sahnya zakat, dll.
3. Tujuan yang benar
Ijazah itu penting, tapi tujuan anak untuk menuntut itu hanya semata2
dalam rangka mendapatkan ridho Allah, mendapat surga Allah di akhirat nanti.
Kalau tujuan pendidikan adalah ijazah, maka
ketika ujian, ia malah menyontek. Yang membantu menyontek adalah orang tuanya.
Naudzubillah.
Barang siapa yang curang, tidak akan
termasuk ummat Rasulillah SAW.
4. Lingkungan yang sehat, kondusif
Kenapa lingkungan? Karena lingkungan sangat
menentukan kepribadian anak kita. Manusia itu anak lingkungannya. Ketika
lingkungannya soleh, maka anak kita menjadi soleh.
Itu lah ketika Rasulullah ditinggal mati
ayahandanya, lalu dicarikan orang yang menyusuinya di lingkungan yang bersih.
Maka dari itu Nabi berbahasa Arab yang baik, karena dibesarkan di lingkungan
yang berbahasa Arab yang baik
5. Mutabaah (monitoring/pengawasan) terus
menerus.
Anak adalah anak, selalu membutuhkan
mutabaah (dimonitor perkembangannya)
Jangankan anak yang masih kecil, atau pun
remaja yang sudah barang tentu masih labil, anak kita yang sudah berumah tangga
saja, perlu tetap di mutabaah. Apakah rumah tangganya rukun bahagia.
Apalagi anak SMP, harus diketahui, anak ini
di jam sekolah, apakah ada di sekolah atau ada di mall.
Sahabat2 Rasulullah pun masih dimutabaah, “siapa
yang hari ini sudah memberikan infaq, siapa yang hari ini menyolatkan jenazah,
dsbnya.” Selalu yang menjawab saya ya Rasulullah adalah Abu Bakar.
Nabi saja masih terus memutabaah binaannya,
apalagi kita. Jangan sampai ada orang tua yang menganggap, yang penting sudah
bayar SPP, yang penting sudah bayar infaq, dsbnya. Tidak! Kita harus tetap
mutabaah (monitoring terus menerus) anak2 kita.
Sudah barang tentu, walau tanggungjawab
terbesar adalah orang tua, tapi guru2 adalah mitra terbaik bagi para orang tua.
Ini adalah amal jama’I, yaitu bekerja sama dan sama2 bekerja.
Pengawasan yang terus menerus (mutabaah)
harus juga muncul dari masyarakat. Masyarakat juga tidak boleh diam melihat
kalau ada anak yang tawuran, dsbnya. Kalau ada rumah kebarakan, lalu dia
berkata, itu tidak bukan rumah saya, maka rumah berikut2nya, rumah siapa yang
akan terbakar.
Mungkin anak itu di depan orang tua, soleh.
Mau pergi, dia pamit cium tangan. Tapi siapa yang tahu, di luar sana ia bergaul
dengan siapa.
Yang terpenting juga adalah pemerintah.
Karena pemerintah mengeluarkan hukum2.
Insya Allah dalam kesungguhan ini kita
diberikan kemudahan dalam pendidikan bangsa ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar