Rabu, 20 Mei 2015

Menyatukan Langkah dalam Dakwah

Al Quran adalah kitab dakwah, karena Al Quran itu lah yang didakwahkan oleh Rasulullah SAW.

Ini berbeda dengan Rasul2 terdahulu. Kalau Musa as mukjizatnya adalah tongkat, tapi itu bukan dakwahnya. Kalau Isa as mukjizatnya adalah menyembuhkan orang, tapi bukan itu dakwahnya. Kalau Ibrahim as mukjizatnya adalah tidak terbakar ketika dibakar, tapi bukan itu dakwahnya.

Alhamdulillah, kita harus syukuri negri yang subur ditanami pohon dakwah ini. Pagi2 kita sudah mendengarkan kajian keIslaman seperti ini. Nanti siang juga ada, sore juga ada. Dan itu terjadi di mana2, di kampus, di perkantoran, dll. Ini adalah nikmat yang sangat besar.

Di sisi yang lain, kita sudah barang tentu belum puas. Apa yang masih menjadi PR kita? Yaitu adanya begitu banyaknya ormas2 Islam, ulama2 Islam, itu semuanya adalah nikmat. Tapi yang kita khawatirkan adalah, mereka berjalan sendiri2, tidak ada kesatuan langkah.

Kalau itu terjadi, maka energy umat yang sangat besar ini akan berkurang. Karena kekuatan ummat itu ada dalam berjamaah. Barokah Allah turun pada jamaah.

Bagaimana menyatukan langkah2 kita?

1. Menyatukan tujuan, orientasi, visi misi kita
Tempat bisa berbdea, bahkan organisasi bisa berbeda. Tetapi bila orientasi sama, maka kita disatukan dalam satu gerbong yang sama dengan para Nabi dan Rasul.

An Nahl 125: Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik.

Yusuf 128: Katakan ini jalanku, aku mengajak manusia

Jadi kalau berdakwah, jangan orientasinya mengikuti ustadz kami, golongan kami, ormas kami. Kalau kepada individu, maka akan melahirkan masyarakat yang kultus kepada gurunya, pemimpinnya, padahal dakwah itu bukan seperti itu.

Dakwah adalah amal yang sangat mulia. Orientasi kita dalam dakwah haruslah sama, yaitu membentuk manusia2 yang Robbaniyyin, yang orientasinya adalah kepada Allah. Itulah sebabnya kenapa Musa as melarang umatnya untuk menyembah dirinya.

Ali Imran 79: Tidak wajar bagi seseorang manusia yang Allah berikan kepadanya Al Kitab, hikmah dan kenabian, lalu dia berkata kepada manusia: “Hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembahku bukan penyembah Allah.” Akan tetapi (dia berkata): “Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, karena kamu selalu mengajarkan Al Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya. Dan (tidak wajar pula baginya) menyuruhmu menjadikan malaikat dan para nabi sebagai tuhan. Apakah (patut) dia menyuruhmu berbuat kekafiran di waktu kamu sudah (menganut agama) Islam?

Nabi saja tidak boleh menjadikan kaumnya sebagai penyembah2 dirinya. Apalagi kita, sebagai aktifis dakwah. Marilah kita satukan langkah, yaitu orientasi kita hanya menjadikan manusia2 hanya menyembah kepada Allah.

2. Menyatukan prinsip.
Seluruh prinsip aktifis dakwah dari dulu sampai sekarang adalah Laa ilaa ha illallaah.

Kita diciptkan hanya dalam rangka beribadah kepada Allah. Maka ketika seluruh aktifis dakwah prinsipnya sama, maka kita akan dimudahkan oleh Allah menyatukan langkah2 berikutnya.

Maka setiap Nabi dan setiap Rasul diutus oleh Allah SWT membawa prinsip ini, “taatilah Allah dan jauhilah thaghut”

Adapun hal2 yang cabang2, seperti sarananya seperti apa, dll itu bisa berbeda2.

Sebagian ulama ada yang membangun pesantren2 agar hafal Al Quran. Sebagian ulama2 membangun Rumah Sakit. Sebagian ulama2 membangun aqidah yang kuat. Dan saudara2 yang lain mentarbiyah masyarakat agar politiknya kuat, ekonominya kuat, pendidikannya kuat, dan itu semuanya adalah bagus.

3. Manhaj (ajarannya) harus sama, yaitu Islam
Jangan sampai yang didakwahkan adalah mimpinya, lamunannya.

Ilmu yang sebenarnya itu adalah firman Allah, dan cara yang benar adalah cara Nabi. Disertai dengan pemahaman Bahasa Arab, karena AL Quran dan As Sunnah disampaikan dalam Bahasa Arab.

4. Kesatuan timbangan, tolak ukur, paradigm

Timbangan yang pasti benar, yang menjadi acuan kita bersama, adalah timbangan langit.

Surat ‘Abasa, ketika nabi dengan semangat mendakwahi tokoh2 Quraisy, dan ini demi dakwah Islam, bukan untuk kepentingan Nabi. Lalu datang sahabat yang buta, dan santun, meminta agar diajarkan sebagian ilmu yang Nabi miliki. Nabi tidak menjawab, karena sibuk mendakwahi elit2 Quraisy. Logikanya, kalau elit2 Quraisy mau terima dakwah ini akan mendukung dakwah Nabi di periode Mekka yang saat itu umat Islam diintimidasi. Tapi Nabi tidak segera menanggapi pertanyaan Abdullah Ibnu Maktum, bahkan Rasulullah bermuka masam.

Lalu Allah menegur, yaitu dengan timbangan yang benar, yang bernama wahyu. “Abasa wata wallaa… (Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling).

Karena Abdullah ibnu Maktum, memang orang yang buta, miskin, tapi seluruh jiwanya diserahkan untuk dakwah, dia datang untuk membersihkan dirinya. Sedangkan para pembesar Quraisy itu datang dengan sekedar basa basi.

Rasulullah, yaitu guru terbaik, murabiyyah yang termulia itu, ditegur oleh Allah. Ini menandakan, bahwa se-senior apa pun seseorang, maka ia harus bersedia diberi nasehat dengan nasehat Robbani.

Kita mengira pendapat kita, analisa kita lebih hebat?

Naudzubillahi min dzalik.

Ketika seseorang meyakini pendapat gurunya tidak begitu kuat, maka dia akan berkata, “saya mencintai guru saya, tapi saya mengikuti Allah dan Rasulullah.”

Kita bisa berbeda, dalam hal2 yang bersifat cabang, tapi timbangan kita harus tetap satu.

5. Kesatuan sikap
Pembelaannya kepada kebenaran, bukan kepada kepentingan.


Sudah barang tentu kita optimis, selama umat Islam berpegang pada Al Quran dan As Sunnah, maka kita akan diselamatkan oleh Allah SWT.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar