Al Quran adalah kitab dakwah, karena Al
Quran itu lah yang didakwahkan oleh Rasulullah SAW.
Ini berbeda dengan Rasul2 terdahulu. Kalau
Musa as mukjizatnya adalah tongkat, tapi itu bukan dakwahnya. Kalau Isa as
mukjizatnya adalah menyembuhkan orang, tapi bukan itu dakwahnya. Kalau Ibrahim
as mukjizatnya adalah tidak terbakar ketika dibakar, tapi bukan itu dakwahnya.
Alhamdulillah, kita harus syukuri negri
yang subur ditanami pohon dakwah ini. Pagi2 kita sudah mendengarkan kajian
keIslaman seperti ini. Nanti siang juga ada, sore juga ada. Dan itu terjadi di
mana2, di kampus, di perkantoran, dll. Ini adalah nikmat yang sangat besar.
Di sisi yang lain, kita sudah barang tentu
belum puas. Apa yang masih menjadi PR kita? Yaitu adanya begitu banyaknya ormas2
Islam, ulama2 Islam, itu semuanya adalah nikmat. Tapi yang kita khawatirkan
adalah, mereka berjalan sendiri2, tidak ada kesatuan langkah.
Kalau itu terjadi, maka energy umat yang
sangat besar ini akan berkurang. Karena kekuatan ummat itu ada dalam berjamaah.
Barokah Allah turun pada jamaah.
Bagaimana menyatukan langkah2 kita?
1. Menyatukan tujuan, orientasi, visi misi
kita
Tempat bisa berbdea, bahkan organisasi bisa
berbeda. Tetapi bila orientasi sama, maka kita disatukan dalam satu gerbong
yang sama dengan para Nabi dan Rasul.
An Nahl 125: Serulah (manusia) kepada jalan
Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik.
Yusuf 128: Katakan ini jalanku, aku
mengajak manusia
Jadi kalau berdakwah, jangan orientasinya
mengikuti ustadz kami, golongan kami, ormas kami. Kalau kepada individu, maka
akan melahirkan masyarakat yang kultus kepada gurunya, pemimpinnya, padahal
dakwah itu bukan seperti itu.
Dakwah adalah amal yang sangat mulia. Orientasi
kita dalam dakwah haruslah sama, yaitu membentuk manusia2 yang Robbaniyyin, yang
orientasinya adalah kepada Allah. Itulah sebabnya kenapa Musa as melarang
umatnya untuk menyembah dirinya.
Ali Imran 79: Tidak wajar bagi seseorang manusia yang Allah berikan kepadanya Al Kitab, hikmah dan kenabian, lalu dia berkata kepada manusia: “Hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembahku bukan penyembah Allah.” Akan tetapi (dia berkata): “Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, karena kamu selalu mengajarkan Al Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya. Dan (tidak wajar pula baginya) menyuruhmu menjadikan malaikat dan para nabi sebagai tuhan. Apakah (patut) dia menyuruhmu berbuat kekafiran di waktu kamu sudah (menganut agama) Islam?
Nabi saja tidak boleh menjadikan kaumnya
sebagai penyembah2 dirinya. Apalagi kita, sebagai aktifis dakwah. Marilah kita
satukan langkah, yaitu orientasi kita hanya menjadikan manusia2 hanya menyembah
kepada Allah.
2. Menyatukan prinsip.
Seluruh prinsip aktifis dakwah dari dulu
sampai sekarang adalah Laa ilaa ha illallaah.
Kita diciptkan hanya dalam rangka beribadah
kepada Allah. Maka ketika seluruh aktifis dakwah prinsipnya sama, maka kita
akan dimudahkan oleh Allah menyatukan langkah2 berikutnya.
Maka setiap Nabi dan setiap Rasul diutus
oleh Allah SWT membawa prinsip ini, “taatilah Allah dan jauhilah thaghut”
Adapun hal2 yang cabang2, seperti sarananya
seperti apa, dll itu bisa berbeda2.
Sebagian ulama ada yang membangun
pesantren2 agar hafal Al Quran. Sebagian ulama2 membangun Rumah Sakit. Sebagian
ulama2 membangun aqidah yang kuat. Dan saudara2 yang lain mentarbiyah
masyarakat agar politiknya kuat, ekonominya kuat, pendidikannya kuat, dan itu semuanya
adalah bagus.
3. Manhaj (ajarannya) harus sama, yaitu
Islam
Jangan sampai yang didakwahkan adalah
mimpinya, lamunannya.
Ilmu yang sebenarnya itu adalah firman
Allah, dan cara yang benar adalah cara Nabi. Disertai dengan pemahaman Bahasa Arab,
karena AL Quran dan As Sunnah disampaikan dalam Bahasa Arab.
4. Kesatuan timbangan, tolak ukur, paradigm
Timbangan yang pasti benar, yang menjadi
acuan kita bersama, adalah timbangan langit.
Surat ‘Abasa, ketika nabi dengan semangat
mendakwahi tokoh2 Quraisy, dan ini demi dakwah Islam, bukan untuk kepentingan
Nabi. Lalu datang sahabat yang buta, dan santun, meminta agar diajarkan
sebagian ilmu yang Nabi miliki. Nabi tidak menjawab, karena sibuk mendakwahi
elit2 Quraisy. Logikanya, kalau elit2 Quraisy mau terima dakwah ini akan
mendukung dakwah Nabi di periode Mekka yang saat itu umat Islam diintimidasi.
Tapi Nabi tidak segera menanggapi pertanyaan Abdullah Ibnu Maktum, bahkan
Rasulullah bermuka masam.
Lalu Allah menegur, yaitu dengan timbangan
yang benar, yang bernama wahyu. “Abasa wata wallaa… (Dia (Muhammad) bermuka
masam dan berpaling).
Karena Abdullah ibnu Maktum, memang orang
yang buta, miskin, tapi seluruh jiwanya diserahkan untuk dakwah, dia datang
untuk membersihkan dirinya. Sedangkan para pembesar Quraisy itu datang dengan
sekedar basa basi.
Rasulullah, yaitu guru terbaik, murabiyyah
yang termulia itu, ditegur oleh Allah. Ini menandakan, bahwa se-senior apa pun
seseorang, maka ia harus bersedia diberi nasehat dengan nasehat Robbani.
Kita mengira pendapat kita, analisa kita
lebih hebat?
Naudzubillahi min dzalik.
Ketika seseorang meyakini pendapat gurunya
tidak begitu kuat, maka dia akan berkata, “saya mencintai guru saya, tapi saya
mengikuti Allah dan Rasulullah.”
Kita bisa berbeda, dalam hal2 yang bersifat
cabang, tapi timbangan kita harus tetap satu.
5. Kesatuan sikap
Pembelaannya kepada kebenaran, bukan kepada
kepentingan.
Sudah barang tentu kita optimis, selama
umat Islam berpegang pada Al Quran dan As Sunnah, maka kita akan diselamatkan
oleh Allah SWT.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar