Jumat, 06 Maret 2015

Adil dalam Takaran dan Timbangan

Di antara ruang lingkup keadilan yang diwajibkan oleh Allah untuk ditegakkan adalah adil dalam takaran dan timbangan.

QS Al An’am 152: Dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil.

Ini adalah instruksi Allah, dan pada dasarnya instruksi Allah adalah wajib. Dan ketika ini adalah instruksi untuk menegakkan keadilan, maka ini adalah instruksi yang besar. Tidak ada instruksi yang lebih besar daripada instruksi Allah.

Di sini juga ada kata bil qisthi, yang maknanya juga adil.

Keadilan ini dimaksudkan adanya kesamaan al haq (kebenaran), baik antara pembeli dengan penjual. Yang menjual mendapatkan harga yang benar, dan yang membeli mendapatkan takaran yang benar. Sehingga saling ridho. Inilah ekonomi syariah yang tidak mengejar keuntungan. Ekonomi syariah dibanungun di atas at taroodhi, saling ridho. Ada kebahagiaan secara maknawi yang bernama ridho, karena ridho itu adalah kebahagiaan.

Adil dalam takaran dan timbangan adalah sesuatu yang diwajibkan oleh kebenaran. Sehingga ada korelasi antara keadilan dengan kebenaran. Karena ketika kita menjaga keadilan, kita menegakkan kebenaran.

Sebagaimana hubungan keadilan dengan kebenaran, dalam seluruh aspek kehidupan, tidak hanya dalam takaran dan timbangan saja.

Di sini Allah memerintahkan di dalam takaran dan timbangan secara penuh. Tidak boleh mengurangi barang sedikit pun. Karena itu akan menjauhkan dari keberkahan. Bisa jadi seseorang secara angka nominal bertambah keuangannya, tapi kehidupannya tidak bahagia, anaknya nakal, rumah tangga tidak harmonis, dikarenakan timbangan yang tidak adil.

Di antara keistimewaan Al Islam, Al Quran, adalah mensingkronkan antara idealita dan realita. Kita seorang muslim sebisa mungkin seluruh upaya kita lakukan agar timbangan itu teliti, takaran itu tepat, benar. Setelah kita berupaya semaksimal mungkin, ternyata takaran itu masih kurang tepat, maka kita berdoa untuk diampuni. Laa yukallifullahu nafsan illa wus aha (Allah tidak membebani seseorang, melainkan sesuai dengan kemampuannya).

Yang tidak boleh adalah menganggap ringan untuk curang dalam takaran. Ini tidak boleh! Kita harus bersungguh-sungguh.Tapi kemudian, apabila masih ada kekurangan, kekurangan di luar kemampuan kita, maka Allah akan mengampuni. Laa yukallifullahu nafsan illa wus aha. Ini yang dimaksud bahwa Islam itu seimbang antara idealitas dengan realitas.

Dalam menimbang ketokohan seseorang, dalam menentukan pembelaan atas ketokohannya, maka seseorang harus seadil-adilnya, dan sepenuh-penuhnya. Harus penuh, tanpa ada sedikit pun kekurangan. Dan tadi saya katakan, kalau ada ketidakmampuan kita dalam menyajikan keadilan, itu karena keterbatasan kita.

Manusia tidak boleh beramal dengan sisa-sisa potensinya. Ini tidak boleh. Tapi harus melakukan dengan seoptimal mungkin, seideal mungkin.

Apa urgensi berbuat adil dalam takaran dan timbangan ini? Ini harus kita ketahui, agar menusia terus termotivasi dalam berbuat adil dalam takaran dan timbangan.

1. Ia adalah termasuk di dalam wasiat Allah SWT yang sepuluh.

Al An’am 151-153:
151. Katakanlah: "Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu yaitu: janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu bapa, dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan, Kami akan memberi rezeki kepadamu dan kepada mereka, dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak di antaranya maupun yang tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar". Demikian itu yang diperintahkan kepadamu supaya kamu memahami(nya).

152. Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat, hingga sampai ia dewasa. Dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. Kami tidak memikulkan beban kepada sesorang melainkan sekedar kesanggupannya. Dan apabila kamu berkata, maka hendaklah kamu berlaku adil, kendatipun ia adalah kerabat(mu), dan penuhilah janji Allah. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu ingat.

153. dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah agar kamu bertakwa.

Ini adalah 10 wasiat Allah, karena di bagian penutupnya adalah dzaalika washshiyaatu.

Ketika orang mau meninggal dunia, dia kumpulkan anaknya dean keluarganya, maka ia memberikan wasiat. Sudah barang tentu perintah ini lebih penting daripada perintah yang lain.

2. Ancaman Allah ketika seseorang, atau masyarakat, atau Negara, tidak berlaku adil dalam takaran, ukuran, dan timbangan, adalah WAIL. Wail adalah ancaman Allah dalam neraka. Wailul lil muthoffifiin… kebinasaan bagi orang-orang yang curang. Ketika dia beli maunya utuh, tapi kalau dia jual maka dia kurangi. Negara yang curang dalam takaran dan timbangannya, maka Negara itu hancur. Hancur itu bisa berupa materi dan non materi. Non materi itu bisa berupa kebencian di antara pelaksana pemerintahannya.

Maka Rasulullah SAW, manusia yang paling sibuk beribadah di dunia, tidak ada alasan berkata “saya tidak ada waktu” dalam memeriksa apakah rakyat benar-benar adil dalam timbangan. Beliau sendiri yang turun ke masyarakat untuk mengecek ke rakyatnya. Ini menggambarkan ketika masyarakat benar2 jujur dalam bisnisnya, maka Negara benar2 menjamin ketenangannya. Sehingga tidak ada yang tega menipu temannya, tetangganya, dsbnya.

Islam ketika berbicara tentang akhirat, ini bukan semata-mata tentang akhirat, tapi ada dampaknya dalam kehidupan dunia ini. Manusia tidak berani berbuat curang di dunia, karena nanti akan mendapatkan neraka Wail.

3. Keadilan untuk semua. Untuk pembeli, untuk penjual, untuk rakyat, dan pemerintahnya. Sehingga kata al qisthu itu untuk mufrod, dan mujanna, ini menggambarkan keadilan untuk semuanya.

Dengan keadilan ekonomi, kita akan diberikan keberkahan oleh Allah SWT.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar