Senin, 02 Maret 2015

Poligami dalam Islam


Islam adalah ajaran yang realistis dan idealis.
Realitasnya, sebagian kaum muslimin, ada yang tidak cukup dengan istri satu, sehingga kita tidak boleh membiarkan sesorang yang akhirnya berbuat zina, karena takut cemoohan orang lain bila ia poligami.
Idealisnya, dia harus berbuat adil kepada istri-istrinya.

Karena jika tidak berlaku adil di tengah2 istrinya, yang menjadi korban bukan hanya istri saja, tapi juga anak cucu, mertua, orang tua, dll. Karena pernikahan bukan ikatan antara dua orang saja, tapi dua keluarga besar.

Solusi bila ada masalah dalam keluarga adalah membicarakannya dengan melibatkan pihak keluarga istri. Manajemen keluarga bisa dilihat di ayat sbb:

QS An Nisa 34-35:
34. Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita, karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Maka perempuan-perempuan yang saleh, adalah mereka yang taat kepada Allah dan menjaga diri ketika suaminya tidak ada, karena Allah telah menjaga (mereka). Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan nusyuz, hendaklah kamu beri nasihat kepada mereka, tinggalkanlah mereka di tempat tidur (pisah ranjang), dan (kalau perlu) pukullah mereka. Tetapi, jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari alasan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Mahatinggi lagi Mahabesar.

35. Dan jika kamu khawatirkan terjadi persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam (juru damai) dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-istri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Mahateliti.

Bagi saudaraku yang memberanikan dirinya menikahi istri lebih dari 1, sadarilah bahwa yang mengalami kedholiman bila kita tidak adil, bukan cuma istri kita, tapi keluarga istri kita juga. Jangan sampai untuk mendapatkan hak kita yaitu untuk beristri lebih dari satu, menjadi mengantarkan kita tidak berbuat tidak adil. Bukankah tujuan pernikahan adalah menciptkan keluarga yang sakinah (membawa ketenangan)?

Ketika Allah menyuruh kita berbuat adil, tapi di ayat lain, Allah mengatakan “kalian tentu tidak akan mampu berbuat adil”. Ini tentu bukan kontradiksi

QS An Nisa 129: Dan kalian tidak akan mampu untuk berbuat adil di antara istri2 kamu, walau kalian sudah berusaha semaksimal mungkin.

Bagaimana di satu sisi Allah menyuruh kita berbuat adil, tapi di ayat lain, Allah meniadakan kemampuan berbuat adil kepada istri-istri.

Sopan santun etika kita sebagai muslim dalam memahami Al Quran, adalah kita yakin bahwa tidak mungkin terjadi kontradiksi dalam ayat-ayat Al Quran. Cara memahaminya adalah: adil yang dituntut oleh Al Quran, di mana kita dituntut kepada istri2 kita adalah, keadilan yang bersifat dzhohir yang memang dalam ruang lingkup kemampuan manusia. Adil dalam memberikan pakaian, rumah, dan dalam hal2 yang sifatnya materi lainnya. Dhzolim dalam hal ini, berarti kita melakukan dosa besar.

Keadilan yang di luar kemampuan manusia, seperti rasa cinta, kasih sayang, dll ini sudah barang tentu itu di luar kemampuan manusia, karena rasa cinta adalah hak prerogatif dari Allah. Maka dari itu Rasulullah adalah suami yang paling adil kepada istri-istrinya, akan tetapi beliau mengakui dan berdoa, yang diabadikan dalam hadist diriwayatkan Abu Dawud dalam bab nikah, menggilir istri2: “Ya Allah, inilah bagianku, kemampuan aku berbuat adil untuk menggilir, oleh karena itu jangan lah Engkau menghukumku dalam sesuatu yang Engkau miliki sedangkan aku tidak memilikinya.”

Beliau mengaku di hadapan Allah SWT, bahwa masalah cinta, kasih sayang itu tempatnya di hati, dan yang menguasia seluruh hati manusia adalah Allah. Sehingga jangan sampai perasaan kita, apakah perasaan kita sebagai perempuan, atau kah sebagai bapak, menolak hukum Allah dengan alasan ayat ini, bahwa tidak mungkin bisa berbuat adil terhadap istri2 kalian meskipun kalian bersungguh2. Di sini harus dipahami, bahwa pemahamannya berbeda, yaitu yang dimaksud adalah tidak boleh dzholim dalam keadilan yang bersifat dzhohir, tapi keadilan dalam bentuk cinta, tidak ada yang mampu.

Rumah tangga yang dibangun di atas kedzholiman, adalah rumah tangga yang menunggu kehancurannya, meski tidak hancur di dunia, dia akan hancur di akhirat. Lakukan keadilan itu agar diberkahi oleh Allah. Karena pernikahan bukan hanya pertemuan secara fisik, tapi pernikahan mempunyai misi yang utama, di antaranya adalah:
Tarbiyah auladiyah, membangun anak2 kita menjadi calon pemimpin2 bangsa, “waj ‘alnaa lil muttaqiina imaamaa” (Ya Allah, jadikan anak2 kami pemimpin orang2 yang bertaqwa).
Tarbiyah wiqoiyah, mendidik keluarga kita agar punya tindakan prefentif agar tidak terjatuh ke dalam neraka. Semakin banyak keluarga kita maka akan semakin banyak tanggung jawab kita, ketika dia tidak adil, maka di akhirat seorang suami akan berjalan miring.


Semoga keluarga kita semua diberikan taufik menegakkan keadilan. Wallahua’lam bish showwab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar