Di antara buah hidup di bawah cahaya Al
Quran, di dalam kehidupan akhirat nanti adalah, masuk syurga.
Jadi, orang2 beriman yang masuk syurga itu
sangat berkaitan dengan sejauh mana komitmen mereka terhadap Al Quranul Karim,
sehingga kedudukan/kelasnya nanti di syurga juga berbeda. Sehingga di antara
manusia ada yang disebut, menzholimi dirinya sendiri, ada yang sedang-sedang
saja (muqtashid), ada juga yang cepat merespon kebaikan.
QS Faathir 31-35:
31. Dan apa yang telah Kami wahyukan
kepadamu (Muhammad) yaitu Kitab (Al Quran) itulah yang benar, membenarkan
kitab-kitab yang sebelumnya. Sungguh, Allah benar-benar Maha Mengetahui lagi
Maha Melihat (keadaan) hamba-hamba-Nya.
32. Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada
orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka
ada yang menzalimi diri sendiri, ada yang pertengahan dan ada (pula) yang lebih
dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah karunia
yang besar.
33. (Mereka akan mendapat) surga 'Adn,
mereka masuk ke dalamnya, di dalamnya mereka diberi perhiasan gelang-gelang
dari emas dan mutiara, dan pakaian mereka di dalamnya adalah sutera.
34. Dan mereka berkata, "Segala puji
bagi Allah yang telah menghilangkan kesedihan dari kami. Sungguh, Tuhan kami
benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri.
35. Yang dengan karunia-Nya menempatkan
kami dalam tempat yang kekal (surga); di dalamnya kami tidak merasa lelah dan
tidak pula merasa lesu
Di ayat-ayat QS Faathir 31-35 di atas, Allah menjelaskan
bahwa Al Quran diturunkan kepada Rasulullah adalah sebuah hal yang
haq (benar) dalam makna yang seluas2nya. Lalu Nabi meninggal dunia, karena
Nabi adalah manusia, dan Al Quran itu diwariskan kepada siapa? Di sini
disebutkan macam2 orang beriman yang menerima Al Quran sebagai warisan dari Allah SWT. Siapa
saja orang beriman ini?
1. Dzhoolimun li nafsihi (orang yang
mendzholimi dirinya sendiri)
Seseorang yang kurang dalam melaksanakan
kewajiban-kewajiban dan dia melakukan dosa-dosa, padahal dia mengaku beriman.
Orang seperti ini disebut dzholim. Sehingga orang yang berbuat dosa disebut
sebagai mendzholimi diri sendiri. Kenapa demikian? Karena orang berbuat dosa
adalah orang yang tega2nya membuat dirinya masuk ke dalam neraka.
Mereka ini berbuat dosa, tapi di bawah
level nifaq dan syirik. Tidak menjadikannya termasuk munafiq, dan tidak
menjadikan dirinya termasuk musyrik.
2. Al Muqtashid (yang sedang-sedang saja).
Apa kriterianya?
a. seorang beriman yang melaksanakan
kewajiban2 dan meninggalkan yang diharamkan oleh Allah SWT, dan kadang2 dia
meninggalkan yang disunnahkan. Misalnya, dalam sholat, terkadang ia meninggal
sholat Sunnah qobliyah, dan badiyah. Dia melakukan yang makruh, yaitu yang bila
dilakukan tidak dosa dan juga tidak berpahala.
b. Orang yang kurang serius taatnya kepada
Allah. Taat sih taat, tapi tidak bersungguh2 dalam ketaatannya kepada Allah.
Tidak mengoptimalkan seluruh potensinya untuk taat kepada Allah.
3. Saabiqun bil khoiroot (orang yang cepat
melakukan kebaikan)
Ada yang cepat untuk melakukan kebaikan2
atas izin Allah SWT, sehingga mendahului saudara2nya, dan masuk syurganya juga syurga
yang paling tinggi dan paling cepat.
Benar2 orang yang signifikan dalam
kebaikannya, melampaui orang yang bersungguh2 dalam taat kepada Allah SWT.
Orang2 yang kebaikannya sudah tertanam
dalam sanubarinya, sehingga gerakan2 tubuhnya mengikuti komandannya (al qolbu).
Ketika Allah SWT menyebut 3 golongan,
kenapa yang pertama disebut dzholimun li nafsihi (orang yang mendzholimi
dirinya). Al Quran itu disucikan dari kebetulan, termasuk ketika Allah mendahulukan
dzholimun li nafsihi dan mengakhirkan saabiqun bil khoiroot. Sudah barang tentu
Allah yang paling tahu apa persis maksud didahulukan dan diakhirkannya. Tapi bagi
kita yang menyintai Al Quran, kita senang mentadabburi, di antaranya yang kita
tangkap adalah,
a. karena banyaknya manusia yang
mendzholimi dirinya sendiri. Mengaku beragama Islam, tapi tidak rajin sholat
berjamaah. Mengaku beragama Islam, tapi tidak menyukai ditegakkannya syariat
Islam. Walau mereka sudah haji, sudah umrah. Orang seperti ini jumlahnya lebih banyak,
jadi diingatkan terlebih dahulu.
b. karena syurga yang ini levelnya adalah
yang terendah.
Diperingatkan agar jangan dholim, karena derajat
syurganya nanti adalah terendah, dan terlama baru dapat masuk syurga, setelah
sebelumnya ia masuk neraka terlebih dahulu.
Sedangkan muqtashid, adalah orang yang
meninggalkan yang haram, tapi tidak bersegera. Berbeda dengan orang yang cepat
berbuat kebaikan. Kenapa mereka cepat berbuat kebaikan? Apa rahasianya?
Mari kita pahami ayat ini “saabiqun bil
khoirooti bi idznillah”.
1. Ia diletakkan terakhir, tapi justru dia
yang lebih dahulu masuk syurga.
Yang pertama disebut adalah mendzholimi
diri kita sendiri, kerena begitu banyaknya kedzholiman yang kita lakukan. Lalu
kita sadar, dan kita naik level ke yang muqtashid, lalu kita rajin melaksanakan
kebajikan. Dan terakhir kita menjadi yang tercepat dalam melakukan kebaikan. Ini
tandanya, bahwa untuk mencapai kebaikan itu melalui proses.
Seluruh anak adam pernah berbuat dosa. Tapi
yang terbaik adalah mereka benar2 bertobat, memperbaiki komitmennya terhadap Al
Quranul Karim.
2. Dengan izin Allah.
Kenapa yang dholim dan yang muqtashid tidak
disebutkan dengan izin Allah, padahal semuanya itu juga dapat terjadi atas seizin
Allah?
Dan di antara mereka ada orang yang cepat mendahului
dengan kebaikan2nya, disebut dengan “atas izin Allah”, supaya kita jangan
sampai GR. Kebaikan-kebaikan itu semua terjadi semata2 atas izin Allah, bukan
karena dirinya. Sehingga orang yang terdepan ini akan semakin tawadhu’.
Mengembalikan itu semua kepada Allah SWT, tidak mengembalikan kembali dirinya.
Sehingga tidak mengungkit-ungkit kebaikannya.
Ungkatan saabiqun lil khoiroot, ini
mengajarkan tentang pentingnya urgensi berlomba2 dalam kebaikan. Anak bangsa
ini akan dicintai oleh Allah jika berlomba2 dalam kebaikan2. Jangan sebaliknya,
berlomba2 membuka aurat, dsbnya.
QS Al Muthoffifin 26: wa fii dzaalika fal
yatanaa fasil mutanaa fisuun (Dan untuk yang demikian itu hendaknya orang
berlomba-lomba)
Jadi yang dilombakan adalah agar ia
mendapatkan level tertinggi di Syurga. Jadi jangan berkata, “ah yang penting
kan saya berbuat baik.”
Kalau anak kita sedang belajar, maka yang
dikejar adalah yang terbaik, bukan sekedar lulus. Ketika menjadi suami,
berupaya menjadi suami yang terbaik. Menjadi pemimpin di partai, di Negara,
dsbnya, ia berusaha menjadi pemimpin yang terbaik, bukan yang terpanjang. Buat apa
menjadi yang terpanjang, tapi tidak taat kepada Allah.
Semoga Allah membimbing kita selalu agar
menjadi yang terbaik dalam mengerjakan kebaikan-kebaikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar