Jumat, 27 Maret 2015

Dukhuulul Jannah (Masuk Syurga)

Di antara buah hidup di bawah cahaya Al Quran, di dalam kehidupan akhirat nanti adalah, masuk syurga.

Jadi, orang2 beriman yang masuk syurga itu sangat berkaitan dengan sejauh mana komitmen mereka terhadap Al Quranul Karim, sehingga kedudukan/kelasnya nanti di syurga juga berbeda. Sehingga di antara manusia ada yang disebut, menzholimi dirinya sendiri, ada yang sedang-sedang saja (muqtashid), ada juga yang cepat merespon kebaikan.

QS Faathir 31-35:
31. Dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu (Muhammad) yaitu Kitab (Al Quran) itulah yang benar, membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya. Sungguh, Allah benar-benar Maha Mengetahui lagi Maha Melihat (keadaan) hamba-hamba-Nya.

32. Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang menzalimi diri sendiri, ada yang pertengahan dan ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah karunia yang besar.

33. (Mereka akan mendapat) surga 'Adn, mereka masuk ke dalamnya, di dalamnya mereka diberi perhiasan gelang-gelang dari emas dan mutiara, dan pakaian mereka di dalamnya adalah sutera.

34. Dan mereka berkata, "Segala puji bagi Allah yang telah menghilangkan kesedihan dari kami. Sungguh, Tuhan kami benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri.

35. Yang dengan karunia-Nya menempatkan kami dalam tempat yang kekal (surga); di dalamnya kami tidak merasa lelah dan tidak pula merasa lesu

Di ayat-ayat QS Faathir 31-35 di atas, Allah menjelaskan bahwa Al Quran diturunkan kepada Rasulullah adalah sebuah hal yang haq (benar) dalam makna yang seluas2nya. Lalu Nabi meninggal dunia, karena Nabi adalah manusia, dan Al Quran itu diwariskan kepada siapa? Di sini disebutkan macam2 orang beriman yang menerima Al Quran sebagai warisan dari Allah SWT. Siapa saja orang beriman ini?

1. Dzhoolimun li nafsihi (orang yang mendzholimi dirinya sendiri)
Seseorang yang kurang dalam melaksanakan kewajiban-kewajiban dan dia melakukan dosa-dosa, padahal dia mengaku beriman. Orang seperti ini disebut dzholim. Sehingga orang yang berbuat dosa disebut sebagai mendzholimi diri sendiri. Kenapa demikian? Karena orang berbuat dosa adalah orang yang tega2nya membuat dirinya masuk ke dalam neraka.
Mereka ini berbuat dosa, tapi di bawah level nifaq dan syirik. Tidak menjadikannya termasuk munafiq, dan tidak menjadikan dirinya termasuk musyrik.

2. Al Muqtashid (yang sedang-sedang saja).
Apa kriterianya?
a. seorang beriman yang melaksanakan kewajiban2 dan meninggalkan yang diharamkan oleh Allah SWT, dan kadang2 dia meninggalkan yang disunnahkan. Misalnya, dalam sholat, terkadang ia meninggal sholat Sunnah qobliyah, dan badiyah. Dia melakukan yang makruh, yaitu yang bila dilakukan tidak dosa dan juga tidak berpahala.
b. Orang yang kurang serius taatnya kepada Allah. Taat sih taat, tapi tidak bersungguh2 dalam ketaatannya kepada Allah. Tidak mengoptimalkan seluruh potensinya untuk taat kepada Allah.

3. Saabiqun bil khoiroot (orang yang cepat melakukan kebaikan)
Ada yang cepat untuk melakukan kebaikan2 atas izin Allah SWT, sehingga mendahului saudara2nya, dan masuk syurganya juga syurga yang paling tinggi dan paling cepat.
Benar2 orang yang signifikan dalam kebaikannya, melampaui orang yang bersungguh2 dalam taat kepada Allah SWT.
Orang2 yang kebaikannya sudah tertanam dalam sanubarinya, sehingga gerakan2 tubuhnya mengikuti komandannya (al qolbu).

Ketika Allah SWT menyebut 3 golongan, kenapa yang pertama disebut dzholimun li nafsihi (orang yang mendzholimi dirinya). Al Quran itu disucikan dari kebetulan, termasuk ketika Allah mendahulukan dzholimun li nafsihi dan mengakhirkan saabiqun bil khoiroot. Sudah barang tentu Allah yang paling tahu apa persis maksud didahulukan dan diakhirkannya. Tapi bagi kita yang menyintai Al Quran, kita senang mentadabburi, di antaranya yang kita tangkap adalah,
a. karena banyaknya manusia yang mendzholimi dirinya sendiri. Mengaku beragama Islam, tapi tidak rajin sholat berjamaah. Mengaku beragama Islam, tapi tidak menyukai ditegakkannya syariat Islam. Walau mereka sudah haji, sudah umrah. Orang seperti ini jumlahnya lebih banyak, jadi diingatkan terlebih dahulu.
b. karena syurga yang ini levelnya adalah yang terendah.
Diperingatkan agar jangan dholim, karena derajat syurganya nanti adalah terendah, dan terlama baru dapat masuk syurga, setelah sebelumnya ia masuk neraka terlebih dahulu.

Sedangkan muqtashid, adalah orang yang meninggalkan yang haram, tapi tidak bersegera. Berbeda dengan orang yang cepat berbuat kebaikan. Kenapa mereka cepat berbuat kebaikan? Apa rahasianya?

Mari kita pahami ayat ini “saabiqun bil khoirooti bi idznillah”.

1. Ia diletakkan terakhir, tapi justru dia yang lebih dahulu masuk syurga.
Yang pertama disebut adalah mendzholimi diri kita sendiri, kerena begitu banyaknya kedzholiman yang kita lakukan. Lalu kita sadar, dan kita naik level ke yang muqtashid, lalu kita rajin melaksanakan kebajikan. Dan terakhir kita menjadi yang tercepat dalam melakukan kebaikan. Ini tandanya, bahwa untuk mencapai kebaikan itu melalui proses.

Seluruh anak adam pernah berbuat dosa. Tapi yang terbaik adalah mereka benar2 bertobat, memperbaiki komitmennya terhadap Al Quranul Karim.

2. Dengan izin Allah.
Kenapa yang dholim dan yang muqtashid tidak disebutkan dengan izin Allah, padahal semuanya itu juga dapat terjadi atas seizin Allah?
Dan di antara mereka ada orang yang cepat mendahului dengan kebaikan2nya, disebut dengan “atas izin Allah”, supaya kita jangan sampai GR. Kebaikan-kebaikan itu semua terjadi semata2 atas izin Allah, bukan karena dirinya. Sehingga orang yang terdepan ini akan semakin tawadhu’. Mengembalikan itu semua kepada Allah SWT, tidak mengembalikan kembali dirinya. Sehingga tidak mengungkit-ungkit kebaikannya.

Ungkatan saabiqun lil khoiroot, ini mengajarkan tentang pentingnya urgensi berlomba2 dalam kebaikan. Anak bangsa ini akan dicintai oleh Allah jika berlomba2 dalam kebaikan2. Jangan sebaliknya, berlomba2 membuka aurat, dsbnya.

QS Al Muthoffifin 26: wa fii dzaalika fal yatanaa fasil mutanaa fisuun (Dan untuk yang demikian itu hendaknya orang berlomba-lomba)

Jadi yang dilombakan adalah agar ia mendapatkan level tertinggi di Syurga. Jadi jangan berkata, “ah yang penting kan saya berbuat baik.”

Kalau anak kita sedang belajar, maka yang dikejar adalah yang terbaik, bukan sekedar lulus. Ketika menjadi suami, berupaya menjadi suami yang terbaik. Menjadi pemimpin di partai, di Negara, dsbnya, ia berusaha menjadi pemimpin yang terbaik, bukan yang terpanjang. Buat apa menjadi yang terpanjang, tapi tidak taat kepada Allah.


Semoga Allah membimbing kita selalu agar menjadi yang terbaik dalam mengerjakan kebaikan-kebaikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar