Sabtu, 04 April 2015

Edisi Akhir Pekan: Cara Tafaquffiddiin Yang Benar

Dalam kajian sebelumnya, kita telah memahami urgensi memahami Islam secara mendalam. Bagaimana agar kita diberi anugerah oleh Allah menjadi orang2 yang paham Islam secara mendalam.

Semua itu tidak terjadi secara kebetulan. Pasti ada faktor2 yang menjadikan kita diberikan kemudahan oleh Allah.

1. Memahami Islam dari sumber yang benar, yaitu Al Quran dan Sunnah.
Tidak boleh mengikuti pendapat seseorang yang berbeda dengan Al Quran dengan Sunnah, walau orang tersebut kita sebut sebagai pakar.

Terjemah QS Al Hujurat 1: Ya orang2 beriman, jangan lah kamu berani menentang Allah dan RasulNya.

Contohnya, ada orang yang belajar Islam dari ceramah2, tapi sumber ceramah yang dia dengar itu adalah bersumber dari mimpi. Saya bermimpi bertemu jibril, dll.

Maka dari itu Imam Syafi’I mengatakan, ilmu itu adalah firman Allah dan Sabda Rasulullah.

Makanya Imam Malik yang alim itu, mengatakan ketika imam2 yang lain mengatakan, “jangan sampai ada fatwa lain bila Imam Malik masih ada di Madinah,” lalu dijawab oleh Imam Malik, bahwa “setiap pendapat boleh berbeda, asalkan sumbernya adalah Al Quran dan As Sunnah.”

2. Waspada dari narasumber yang fasiq
Kalau ada berita, wacana, pemikiran, apa pun namanya, jika ia berasal dari orang fasiq, maka harus kita teliti berita tsb.

Terjemah QS Al Hujurat 6: Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.

Karakteristik orang beriman itu, hanya mendapatkan ilmu/berita yang benar. Tidak boleh menerima berita dari orang yang fasik.

Kalau “in” (apabila), itu kemungkinan terjadinya kecil sekitar kurang dari 50%. Sedangkan bila digunakan “idzaa” (apabila) itu kemungkinan terjadinya besar, seperti di dalam ayat An Nashr ayat 1, Idzaa jaa a nashrullah (apabila telah datang pertolongan Allah).

Makna “in” (yang persentasenya kecil) di sini: seharusnya orang beriman itu kecil kemungkinannya belajar dari orang fasik. Kalau ada orang beriman yang melakukan dosa besar, maka hal itu tidak membuatnya langsung kafir, tapi dia disebut fasik. Fasik itu ada yang berasal dari orang beriman dan ada juga yang dari orang kafir.

Naakhiroh, maknanya adalah untuk hal yang umum. Yaitu ketika dikatakan “bila datang kepada kalian orang fasiq,” maka yang dimaksud dengan orang fasik itu adalah orang fasik dari yang jenis mana pun, semuanya itu berbahaya. Berita apa saja. Berita tentang politik, ekonomi, kita harus tabayyun.

Ketika belajar Islam, jangan sekali2 mengambil dari referensi yang tidak benar. Sedangkan referensi yang benar adalah Al Quran dan As Sunnah. Allah yang Pasti Benar, Sunnah Rasulullah pasti Benar. Sedangkan saya yang kemungkinan salah.

3. Komitmen dengan metodologi yang benar.
Sumber yang benar itu tidak cukup, tapi metodologinya juga harus benar.

Yang benar itu adalah yang dicontohkan oleh para sahabat. Karena Al Quran diturunkan dalam Bahasa Arab, jadi tidak boleh kita belajar Islam dari orang yang berani2nya menafsirkan Al Quran berdasarkan kehendaknya sendiri.

“Barangsiapa yang berbicara Al Quran tanpa ilmu, maka tempat kembalinya adalah Neraka.”

“Barangsiapa yang menafsirkan Al Quran tanpa ilmu, ternyata benar, maka ia tetap salah, karena benarnya itu adalah sebuah kebetulan.”

Contoh, ada yang mengatakan riba itu benar, asalkan sedikit. Ada yang mengatakan, semua agama itu benar. Semua agama apa pun adalah benar. Ada yang mengatakan bahwa asalkan dia berdoa, maka dia telah beribadah, jadi dia merasa tidak lagi perlu sholat, dsbnya.

Islam harus benar dipelajari bukan dari segi bahasanya saja, tapi harus dengan metodologi yang benar.

Pertanyaan #1. Bagaimana jika ada motivator yang mengatakan, saya tidak perlu belajar Bahasa Arab, karena dengan terjemahan pun saya sudah bisa menafsirkan ayat tersebut.

Jawab:
Kita diajarkan oleh Islam untuk menghargai kapasitas seseorang. Tapi kalau berhadapan dengan Al Quran, jangan sampai kita berani menafsirkan Al Quran padahal kita bukan ahlinya.

Ilmu alam saja ada kaidah2nya, seperti matematika, kimia, nahwu shorof ada kaidah2 nya.

Al Quran turun dalam Bahasa Arab. Maka saya dapat memahami kenapa Al Quran diharamkan diterjemahkan ke Bahasa lain oleh ulama2 terdahulu, karena dikhawatirkan salah dalam memahami Al Quran. Karena sehebat apa pun seseorang dalam menerjemahkan, maka tetap saja tidak akan sama.

Walau ada yang mengatakan boleh diterjemahkan ke Bahasa lain, tapi idealnya, hal itu hanya digunakan untuk saat awal2 belajar Islam saja. Kita harus punya target, dalam marhalah (level) tertentu, dia harus bisa memahami Al Quran dalam Bahasa Arab.

Kalau ada seseorang yang dengan PD nya menafsirkan Al Quran dari terjemah saja, saya akan katakan pada orang itu, “ittaqullah… bertaqwalah kepada Allah.”

Bagi saudaraku yang belum memahami Bahasa Arab, meski masih melalui terjemah, tapi kalau pemahamannnya itu benar, maka sampaikanlah ajaran Islam itu. Tapi ketika sudah masuk kepada tafsir, sampaikan yang sebatas pemahamannya, dan jangan mengada2 untuk hal yang sebenarnya belum dipahami.

Maka dari itu orang yang disebut penceramah, motivator dsbnya itu memang harus kita hargai, tapi ia berbeda dengan ulama. Maka ia tidak boleh menafsirkan sekehendaknya.

Kalau ingin memahami Islam secara mendalam, kita harus komitmen bersama guru2 yang terpercaya.

Jika dulu ada orang yang mengatakan, “Qoola Rasulullah (berkata Rasulullah)” maka hal itu tidak langsung diterima, tapi akan langsung ditanyakan padanya, “itu sanadnya dari mana.”

Jadi tidak cukup ia mengetahui Bahasa Arab saja, tapi ia juga harus tahu betul ilmu fikih, dsbnya.

Pertanyaan #2.
Untuk memahami tafaqu fiddin, harus dari ulama2 yang terpercaya. Tapi ada sebagian orang yang belajar tanpa guru, tapi ia belajar Islam melalui buku, mimpi, dsbnya.

Jawab:
Di antara bentuk kecintaan kita terhadap bangsa ini, kalau ada kebaikan, maka harus kita dorong, kita bantu. Kalau ada yang salah, juga tidak boleh dibiarkan.

Ketika seseorang hobi membaca, tapi ia tidak punya guru, maka ia bisa terkena racun. Karena, tahu darimana ia bahwa apa yang ia pelajari itu benar atau tidak, jika tidak ada tempat untuk bertanya dan berdiskusi.

Tidak ada orang2 alim yang tidak punya guru.

Ini orang yang tidak jelas siapa gurunya, malah disebut cendekiawan muslim. Bahkan ada orang Islam yang gurunya orang kafir. Bahkan bila gurunya adalah orang Islam sekalipun, tapi bila ilmu gurunya itu bermasalah, itu saja tidak boleh. Apalagi bila gurunya adalah orang kafir.

Pemerintah yang diridhoi Allah, selalu memilih ulama yang terpercaya, dan bukan ulama yang sesuai selera dia. Ini dalam sejarah umat Islam disebut kaum murjiah, pemberi kebenaran terhadap penguasa.
Karena ada juga yang memahami, walau penguasa itu berbuat dzholim, namun katanya asalkan tidak mengganggu keimanan, maka tidak boleh penguasa ini dinasehati. Ini juga salah.
Ektstrim lainnya disebut khawarij, yang langsung menyebut orang lain sebagai kafir. Baik itu murjiah maupun khawarij, mereka itu sama2 ghurur (GR).

Pemimpin yang benar adalah yang mencari ulama yang memberikan masukan agar diridhoi oleh Allah.

Sehingga tidak akan terjadi lagi perang sesama ulama. Selama ulama itu niatnya ikhlas karena Allah, pasti mereka akan benar. Tapi kalau ghoyah (tujuan) mereka berbeda, maka mereka tidak akan bertemu. Karena yang satu mencari ridho Allah, dan yang satunya mencari kursi, walau ia rajin membaca ayat kursi.

Yang benar adalah, ulama yang memberikan pemahaman yang benar kepada pemerintah, yang tidak mencari kesalahan2 dan mencurigai umat Islam.

Pertanyaan #3.
Tadi kiyai sudah mengatakan bahwa dalam memahami agama ini dengan benar, maka sumbernya benar, metodologi benar, dan belajar dari guru2 terpercaya. Apa ada hal lainnya yang perlu diperhatikan lagi?

Jawab:

Terjemah QS At Taubah 192: Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.

Cara bagaimana agar kita dapat memahami Islam secara benar dan mendalami, yaitu mensinkronisasi antara fiqh teks dengan fiqh mendalami realitas di masyarakat. Tidak hanya berasal dari ilmu di atas kertas, tapi juga realisasinya di masyarakat.

Ketika menafsirkan yatafaqqohu fiddin (memperdalam pengetahuan tentang agama), maka Ibnu Abbas dan Hasan Al Basri mengatakan, agar supaya kaum muslimin yang pergi berperang bersama nabi, mempelajari apa yang terjadi di dalam medan perang, lalu membagikan ilmu yang didapatkannya dari medan perang itu. Misalnya, di dalam perang2 yang dihadapi orang Islam, selalu jumlah kaum kafir lebih banyak dari orang muslim, kecuali pada perang Hunain, dan meski demikian, orang muslim yang mendapatkan kemenangan.

Pelajaran seperti itu tidak ada di kampus. Tidak ada di masjid, tapi adanya di medan dakwah.

Barangsiapa yang hidup, maka dia mengetahui banyak hal. Barangsiapa yang bepergian jauh, apalagi untuk menuntut ilmu, maka dia lebih banyak lagi ilmunya.

Kita tahu bagaimana ulama jaman dahulu, untuk mendapatkan satu hadist saja, ia berjalan jauh.

Betapa kita di zaman sekarang ini dimudahkan untuk mendapatkan ilmu melalui media2 yang ada.

Jangan sampai mahasiswa kita mempelajari ilmu di dalam kelas saja, tapi ketika terjadi begal di masyarakat, ia cuek dsbnya. Maka mahasiswa harus diterjunkan ke masyarakat, sehingga ia tahu apa yang sesungguhnya terjadi di belakang berita2 yang tidak benar.


Karena ada orang2 tertentu yang mempunyai filsafat, bahwa kebohongan yang diberitakan setiap hari, maka akan dipercayai oleh orang2 sebagai sebuah hal yang benar. Sehingga bila kebohongan itu dipropagandakan di media2, bisa jadi orang2 akan menganggapnya sebagai sebuah hal yang benar. Mahasiswa yang cerdas, harus bisa memahami hal-hal seperti ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar