Dalam kajian sebelumnya, kita telah
memahami urgensi memahami Islam secara mendalam. Bagaimana agar kita diberi
anugerah oleh Allah menjadi orang2 yang paham Islam secara mendalam.
Semua itu tidak terjadi secara kebetulan.
Pasti ada faktor2 yang menjadikan kita diberikan kemudahan oleh Allah.
1. Memahami Islam dari sumber yang benar,
yaitu Al Quran dan Sunnah.
Tidak boleh mengikuti pendapat seseorang
yang berbeda dengan Al Quran dengan Sunnah, walau orang tersebut kita sebut
sebagai pakar.
Terjemah QS Al Hujurat 1: Ya orang2
beriman, jangan lah kamu berani menentang Allah dan RasulNya.
Contohnya, ada orang yang belajar Islam
dari ceramah2, tapi sumber ceramah yang dia dengar itu adalah bersumber dari
mimpi. Saya bermimpi bertemu jibril, dll.
Maka dari itu Imam Syafi’I mengatakan, ilmu
itu adalah firman Allah dan Sabda Rasulullah.
Makanya Imam Malik yang alim itu,
mengatakan ketika imam2 yang lain mengatakan, “jangan sampai ada fatwa lain bila
Imam Malik masih ada di Madinah,” lalu dijawab oleh Imam Malik, bahwa “setiap
pendapat boleh berbeda, asalkan sumbernya adalah Al Quran dan As Sunnah.”
2. Waspada dari narasumber yang fasiq
Kalau ada berita, wacana, pemikiran, apa
pun namanya, jika ia berasal dari orang fasiq, maka harus kita teliti berita
tsb.
Terjemah QS Al Hujurat 6: Hai orang-orang
yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka
periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu
kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas
perbuatanmu itu.
Karakteristik orang beriman itu, hanya
mendapatkan ilmu/berita yang benar. Tidak boleh menerima berita dari orang yang
fasik.
Kalau “in” (apabila), itu kemungkinan terjadinya
kecil sekitar kurang dari 50%. Sedangkan bila digunakan “idzaa” (apabila) itu
kemungkinan terjadinya besar, seperti di dalam ayat An Nashr ayat 1, Idzaa jaa
a nashrullah (apabila telah datang pertolongan Allah).
Makna “in” (yang persentasenya kecil) di
sini: seharusnya orang beriman itu kecil kemungkinannya belajar dari orang
fasik. Kalau ada orang beriman yang melakukan dosa besar, maka hal itu tidak
membuatnya langsung kafir, tapi dia disebut fasik. Fasik itu ada yang berasal
dari orang beriman dan ada juga yang dari orang kafir.
Naakhiroh, maknanya adalah untuk hal yang umum.
Yaitu ketika dikatakan “bila datang kepada kalian orang fasiq,” maka yang
dimaksud dengan orang fasik itu adalah orang fasik dari yang jenis mana pun,
semuanya itu berbahaya. Berita apa saja. Berita tentang politik, ekonomi, kita
harus tabayyun.
Ketika belajar Islam, jangan sekali2
mengambil dari referensi yang tidak benar. Sedangkan referensi yang benar
adalah Al Quran dan As Sunnah. Allah yang Pasti Benar, Sunnah Rasulullah pasti
Benar. Sedangkan saya yang kemungkinan salah.
3. Komitmen dengan metodologi yang benar.
Sumber yang benar itu tidak cukup, tapi
metodologinya juga harus benar.
Yang benar itu adalah yang dicontohkan oleh
para sahabat. Karena Al Quran diturunkan dalam Bahasa Arab, jadi tidak boleh
kita belajar Islam dari orang yang berani2nya menafsirkan Al Quran berdasarkan
kehendaknya sendiri.
“Barangsiapa yang berbicara Al Quran tanpa
ilmu, maka tempat kembalinya adalah Neraka.”
“Barangsiapa yang menafsirkan Al Quran
tanpa ilmu, ternyata benar, maka ia tetap salah, karena benarnya itu adalah
sebuah kebetulan.”
Contoh, ada yang mengatakan riba itu benar,
asalkan sedikit. Ada yang mengatakan, semua agama itu benar. Semua agama apa
pun adalah benar. Ada yang mengatakan bahwa asalkan dia berdoa, maka dia telah
beribadah, jadi dia merasa tidak lagi perlu sholat, dsbnya.
Islam harus benar dipelajari bukan dari
segi bahasanya saja, tapi harus dengan metodologi yang benar.
Pertanyaan #1. Bagaimana jika ada motivator
yang mengatakan, saya tidak perlu belajar Bahasa Arab, karena dengan terjemahan
pun saya sudah bisa menafsirkan ayat tersebut.
Jawab:
Kita diajarkan oleh Islam untuk menghargai
kapasitas seseorang. Tapi kalau berhadapan dengan Al Quran, jangan sampai kita
berani menafsirkan Al Quran padahal kita bukan ahlinya.
Ilmu alam saja ada kaidah2nya, seperti matematika,
kimia, nahwu shorof ada kaidah2 nya.
Al Quran turun dalam Bahasa Arab. Maka saya
dapat memahami kenapa Al Quran diharamkan diterjemahkan ke Bahasa lain oleh ulama2
terdahulu, karena dikhawatirkan salah dalam memahami Al Quran. Karena sehebat
apa pun seseorang dalam menerjemahkan, maka tetap saja tidak akan sama.
Walau ada yang mengatakan boleh
diterjemahkan ke Bahasa lain, tapi idealnya, hal itu hanya digunakan untuk saat
awal2 belajar Islam saja. Kita harus punya target, dalam marhalah (level) tertentu,
dia harus bisa memahami Al Quran dalam Bahasa Arab.
Kalau ada seseorang yang dengan PD nya
menafsirkan Al Quran dari terjemah saja, saya akan katakan pada orang itu,
“ittaqullah… bertaqwalah kepada Allah.”
Bagi saudaraku yang belum memahami Bahasa
Arab, meski masih melalui terjemah, tapi kalau pemahamannnya itu benar, maka
sampaikanlah ajaran Islam itu. Tapi ketika sudah masuk kepada tafsir, sampaikan
yang sebatas pemahamannya, dan jangan mengada2 untuk hal yang sebenarnya belum
dipahami.
Maka dari itu orang yang disebut
penceramah, motivator dsbnya itu memang harus kita hargai, tapi ia berbeda
dengan ulama. Maka ia tidak boleh menafsirkan sekehendaknya.
Kalau ingin memahami Islam secara mendalam,
kita harus komitmen bersama guru2 yang terpercaya.
Jika dulu ada orang yang mengatakan, “Qoola
Rasulullah (berkata Rasulullah)” maka hal itu tidak langsung diterima, tapi akan
langsung ditanyakan padanya, “itu sanadnya dari mana.”
Jadi tidak cukup ia mengetahui Bahasa Arab
saja, tapi ia juga harus tahu betul ilmu fikih, dsbnya.
Pertanyaan #2.
Untuk memahami tafaqu fiddin, harus dari
ulama2 yang terpercaya. Tapi ada sebagian orang yang belajar tanpa guru, tapi
ia belajar Islam melalui buku, mimpi, dsbnya.
Jawab:
Di antara bentuk kecintaan kita terhadap
bangsa ini, kalau ada kebaikan, maka harus kita dorong, kita bantu. Kalau ada
yang salah, juga tidak boleh dibiarkan.
Ketika seseorang hobi membaca, tapi ia
tidak punya guru, maka ia bisa terkena racun. Karena, tahu darimana ia bahwa
apa yang ia pelajari itu benar atau tidak, jika tidak ada tempat untuk bertanya
dan berdiskusi.
Tidak ada orang2 alim yang tidak punya
guru.
Ini orang yang tidak jelas siapa gurunya,
malah disebut cendekiawan muslim. Bahkan ada orang Islam yang gurunya orang
kafir. Bahkan bila gurunya adalah orang Islam sekalipun, tapi bila ilmu gurunya
itu bermasalah, itu saja tidak boleh. Apalagi bila gurunya adalah orang kafir.
Pemerintah yang diridhoi Allah, selalu
memilih ulama yang terpercaya, dan bukan ulama yang sesuai selera dia. Ini
dalam sejarah umat Islam disebut kaum murjiah, pemberi kebenaran terhadap
penguasa.
Karena ada juga yang memahami, walau penguasa
itu berbuat dzholim, namun katanya asalkan tidak mengganggu keimanan, maka
tidak boleh penguasa ini dinasehati. Ini juga salah.
Ektstrim lainnya disebut khawarij, yang langsung
menyebut orang lain sebagai kafir. Baik itu murjiah maupun khawarij, mereka itu
sama2 ghurur (GR).
Pemimpin yang benar adalah yang mencari
ulama yang memberikan masukan agar diridhoi oleh Allah.
Sehingga tidak akan terjadi lagi perang sesama
ulama. Selama ulama itu niatnya ikhlas karena Allah, pasti mereka akan benar.
Tapi kalau ghoyah (tujuan) mereka berbeda, maka mereka tidak akan bertemu.
Karena yang satu mencari ridho Allah, dan yang satunya mencari kursi, walau ia
rajin membaca ayat kursi.
Yang benar adalah, ulama yang memberikan
pemahaman yang benar kepada pemerintah, yang tidak mencari kesalahan2 dan
mencurigai umat Islam.
Pertanyaan #3.
Tadi kiyai sudah mengatakan bahwa dalam
memahami agama ini dengan benar, maka sumbernya benar, metodologi benar, dan
belajar dari guru2 terpercaya. Apa ada hal lainnya yang perlu diperhatikan
lagi?
Jawab:
Terjemah QS At Taubah 192: Tidak sepatutnya
bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari
tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan
mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka
telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.
Cara bagaimana agar kita dapat memahami
Islam secara benar dan mendalami, yaitu mensinkronisasi antara fiqh teks dengan
fiqh mendalami realitas di masyarakat. Tidak hanya berasal dari ilmu di atas
kertas, tapi juga realisasinya di masyarakat.
Ketika menafsirkan yatafaqqohu fiddin
(memperdalam pengetahuan tentang agama), maka Ibnu Abbas dan Hasan Al Basri
mengatakan, agar supaya kaum muslimin yang pergi berperang bersama nabi, mempelajari
apa yang terjadi di dalam medan perang, lalu membagikan ilmu yang didapatkannya
dari medan perang itu. Misalnya, di dalam perang2 yang dihadapi orang Islam,
selalu jumlah kaum kafir lebih banyak dari orang muslim, kecuali pada perang
Hunain, dan meski demikian, orang muslim yang mendapatkan kemenangan.
Pelajaran seperti itu tidak ada di kampus.
Tidak ada di masjid, tapi adanya di medan dakwah.
Barangsiapa yang hidup, maka dia mengetahui
banyak hal. Barangsiapa yang bepergian jauh, apalagi untuk menuntut ilmu, maka
dia lebih banyak lagi ilmunya.
Kita tahu bagaimana ulama jaman dahulu,
untuk mendapatkan satu hadist saja, ia berjalan jauh.
Betapa kita di zaman sekarang ini dimudahkan
untuk mendapatkan ilmu melalui media2 yang ada.
Jangan sampai mahasiswa kita mempelajari
ilmu di dalam kelas saja, tapi ketika terjadi begal di masyarakat, ia cuek
dsbnya. Maka mahasiswa harus diterjunkan ke masyarakat, sehingga ia tahu apa
yang sesungguhnya terjadi di belakang berita2 yang tidak benar.
Karena ada orang2 tertentu yang mempunyai
filsafat, bahwa kebohongan yang diberitakan setiap hari, maka akan dipercayai
oleh orang2 sebagai sebuah hal yang benar. Sehingga bila kebohongan itu
dipropagandakan di media2, bisa jadi orang2 akan menganggapnya sebagai sebuah
hal yang benar. Mahasiswa yang cerdas, harus bisa memahami hal-hal seperti ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar