Rabu, 08 April 2015

Sikap yang Benar terhadap Harta

Bagaimana sikap kita kepada harta?

Harta benda itu adalah harta benda Allah, dan tugas manusia adalah khilafah yang mengatur harta benda ini. Sehingga tidak boleh kita menjadi budaknya harta, tapi kita lah yang mengatur harta.

Manusia yang diberikan harta, harus bisa dipercaya. Tidak boleh menyianyiakan harta benda.

QS Al Hadid 7: Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan infakkanlah (di jalan Allah) sebagian dari harta yang Dia telah menjadikan kamu sebagai penguasanya (amanah). Maka orang-orang yang beriman di antara kamu dan menginfakkannya (hartanya di jalan Allah) memperoleh pahala yang besar.

Mustakhlafin: orang yang dipercaya oleh Allah menjadi pemimpin (khalifah).

Di sini ada korelasi antara al iman dan infak (harta), karena disebutkan secara berturut-turut. Berarti di situ ada korelasi yang sangat dekat antara iman dengan berinfak. Yaitu manusia yang imannya lemah, merasa berat berinfak. Mereka mengatakan, “enak saja orang yang miskin itu, saya bekerja dari pagi sampai sore, lalu dia enak2 saja mendapatkan uang.” Ini pertanda dia tidak tahu bahwa hartanya adalah milik harta.

Harta dan nyawa itu saudara kandung. Orang yang imannya lemah takut mati, sebagaimana orang yang imannya lemah tidak mau berinfak, karena mereka pikir uangnya akan habis. Padahal justru yang diinfak kan itu lah yang tetap kekal.

Jangankan harta yang kecil. Langit dan seluruh buminya itu milik Allah.

An Najm 31: Dan hanya kepunyaan Allah-lah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi
Yunus 66: Ingatlah, sesungguhnya kepunyaan Allah semua yang ada di langit dan semua yang ada di bumi.

Apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi adalah milik Allah, berarti manusia dan harta bendanya adalah milik Allah.

Allah menyuruh kita berinfak dari sebagian harta, adalah realistis, yaitu hanya 2,5%. Tidak semua hartanya yang diminta. Kalau misal ia punya 1 juta, maka cuma 25 ribu yang diminta untuk diinfaqkan. Tapi dasar manusia bakhil, kikir, ia tidak mau mengeluarkan.

Padahal, tidak mungkin kita semua bis mendapatkan harta, kalau tidak atas seizing Allah. Siapakah yang memudahkan kita untuk bekerja, menerima kita bekerja, yang menjadikan kita selamat berangkat dari rumah ke tempat bekerja, dsbnya? Itu semua adalah karena Allah.

Kalau kita menjadi petani yang sangat kaya, lalu siapa yang menjadikan tanaman itu bisa hidup? Allah Azza wa Jalla. Kita hanya berusaha. Karena terbukti tidak setiap tahun dan setiap pohon bisa berbuah, walau kita mengusahakannya sebaik mungkin.

Di QS Al Waqiyah 63-selanjutnya, kita diingatkan:

63. Pernahkah kamu perhatikan benih yang kamu tanam?
64. Kamukah yang menumbuhkannya ataukah kami yang menumbuhkan?
65. Sekiranya Kami kehendaki, niscaya Kami hancurkan sampai lumat; maka kamu akan heran tercengang.
66. (sambil berkata), "Sungguh, kami benar-benar menderita kerugian,
67. bahkan kami tidak mendapat hasil apa pun

An Nuur 33: Dan orang-orang yang tidak mampu menikah, hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sampai Allah memberi kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya. Dan jika hamba sahaya yang kamu miliki menginginkan perjanjian (kebebasan), hendaklah kamu buat perjanjian kepada mereka, jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka, dan berikanlah kepada mereka sebagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu..

Di dalam An Nuur 33 ini sebenarnya adalah tentang kepedulian kita terhadap anak2 kita, anak2 bangsa, agar jangan terlambat dalam perkawinan. Orang tua didorong oleh Allah untuk memberikan harta bendanya, karena harta benda itu milik Allah.

Menyandarkan kata maal kepada Allah, menggambarkan bahwa harta itu milik Allah, dari Allah, sehingga cara mendapatkan dan penggunaannya harus sesuai dengan aturan Allah.

Jangan sampai kita miliki kebun yang luas, dipergunakan untuk maksiat, digunakan untuk tanggap layar tancap, untuk muda mudi yang setelah itu tawuran atau bahkan berkhalwat, setelah itu kebunnya habis.

Ali Imran 180: Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari karunia-Nya menyangka, bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. Sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka. Harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan kelak di lehernya di hari kiamat. Dan kepunyaan Allah-lah segala warisan (yang ada) di langit dan di bumi. Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.

Harta benda itu dari Allah, jangan mengira itu hasil kerja kerasnya. Di tangan manusia, usaha manusia untuk mendapatkan maal, kita semua sekedar wakil (naaib), sehingga tidak boleh semaunya saja. Kita ini milik Allah.

Ketika manusia itu amanah, maka tidak boleh menisbatkan harta pada diri kita. Walau secara fakta, kita yang bekerja. Kenapa demikian? Karena yang memudahkan itu semua adalah Allah. Berbeda dengan orang yang kufur, yang tidak mensyukuri nikmat Allah, mengatakan, ini adalah milikku.

Al Qashash 78: Qarun berkata: "Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu, karena ilmu yang ada padaku".

Qarun mengatakan, menisbatkan harta bendanya dari sisinya, ‘indii..(dari sisiku).

Tidak akan sama orang yang tahu dengan orang yang tidak tahu.

Kita harus tunduk terhadap arahan2 Allah dalam mengembangkan harta, mendistribusikan harta, dll. Jangan sampai kita seperti kaumnya Nabi Syuaib.

Hud 87: Mereka berkata, "Wahai Syu'aib! Apakah shalatmu yang menyuruhmu agar kami meninggalkan apa yang disembah nenek moyang kami atau melarang kami mengelola harta kami menurut cara yang kami kehendaki. Sesungguhnya engkau benar-benar orang yang sangat penyantun dan pandai."

Ketika Syuaib as memberikan arahannya kepada kaumnya, lalu seperti itu respon kaumnya.

Hud 84-85:
84. Dan kepada (penduduk) Mad-yan (Kami utus) saudara mereka, Syu'aib. Dia berkata, "Wahai kaumku! Sembahlah Allah, tidak ada Tuhan yang berhak disembah bagimu selain Dia. Dan janganlah kamu kurangi takaran dan timbangan. Sesungguhnya aku melihat kamu dalam keadaan yang baik (makmur). Dan sesungguhnya aku khawatir kamu akan ditimpa azab pada hari yang membinasakan (kiamat).

85. Dan wahai kaumku! Penuhilah takaran dan timbangan dengan adil, dan janganlah kamu merugikan manusia terhadap hak-hak mereka dan jangan kamu membuat kejahatan di bumi dengan berbuat kerusakan.

Seorang Nabi adalah seorang pemimpin, di antara tugasnya adalah memberikan arahan2 kepada kaumnya agar sesuai dengan aturan Allah.

Nabi Syuaib memberikan arahan, agar kaumnya tidak curang dalam timbangan. Nabi khawatir kaumnya mendapatkan adzab dari Allah.

Yang kita khawatirkan harusnya bukan hanya harga2 yang naik, tapi yang harus lebih dikhawatirkan adalah jika anak keturunan kita masuk neraka.

Kesalahan dalam system ekonomi, dalam mendayagunakan harta, pada dasarnya tidak berbeda dengan tindakan anarkis. Tindakan anarkis itu, bukan semata2 perbuatan fisik merusak bangunan dsbnya, tapi bisa juga berupa tidak mengikuti aturan2 Allah, yang menyebabkan system perekonomian yang menjadikan yang miskin semakin miskin, dan yang kaya semakin kaya.

Jangan kamu termasuk yang berbuat kerusakan (anarkis). Kaumnya Syuaib mengira, dengan memiliki harta, mereka bisa semau gue. Mereka katakan, ini adalah harta benda kami, jadi kami lakukan sesenang kami. Ternyata ini bukan hanya terjadi di zaman dahulu, tapi juga zaman sekarang. Sejarah itu pasti berulang. Solusinya, harus diperbanyak arahan2 Allah secara massif, bukan hanya di masjid saja, tapi juga di seluruh kantor2 pemerintahan, kantor2 swasta, bahwa harta benda itu adalah milik Allah, sehingga tidak boleh dipergunakan semau2nya.

Diberikan arahan yang kontinyu agar kita benar dalam menyikapi harta, dan benar menggunakannya.

Aturan2 ekonomi harus sesuai dengan aturan Allah. Jika tidak, maka akan terjadi krisis ekonomi, berpuluh2 tahun seperti yang terjadi saat ini.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar