Bagaimana sikap kita kepada harta?
Harta benda itu adalah harta benda Allah,
dan tugas manusia adalah khilafah yang mengatur harta benda ini. Sehingga tidak
boleh kita menjadi budaknya harta, tapi kita lah yang mengatur harta.
Manusia yang diberikan harta, harus bisa
dipercaya. Tidak boleh menyianyiakan harta benda.
QS Al Hadid 7: Berimanlah kamu kepada Allah
dan Rasul-Nya dan infakkanlah (di jalan Allah) sebagian dari harta yang Dia
telah menjadikan kamu sebagai penguasanya (amanah). Maka orang-orang yang
beriman di antara kamu dan menginfakkannya (hartanya di jalan Allah) memperoleh
pahala yang besar.
Mustakhlafin: orang yang dipercaya oleh
Allah menjadi pemimpin (khalifah).
Di sini ada korelasi antara al iman dan
infak (harta), karena disebutkan secara berturut-turut. Berarti di situ ada
korelasi yang sangat dekat antara iman dengan berinfak. Yaitu manusia yang
imannya lemah, merasa berat berinfak. Mereka mengatakan, “enak saja orang yang
miskin itu, saya bekerja dari pagi sampai sore, lalu dia enak2 saja mendapatkan
uang.” Ini pertanda dia tidak tahu bahwa hartanya adalah milik harta.
Harta dan nyawa itu saudara kandung. Orang
yang imannya lemah takut mati, sebagaimana orang yang imannya lemah tidak mau
berinfak, karena mereka pikir uangnya akan habis. Padahal justru yang diinfak
kan itu lah yang tetap kekal.
Jangankan harta yang kecil. Langit dan
seluruh buminya itu milik Allah.
An Najm 31: Dan hanya kepunyaan Allah-lah apa
yang ada di langit dan apa yang ada di bumi
Yunus 66: Ingatlah, sesungguhnya kepunyaan
Allah semua yang ada di langit dan semua yang ada di bumi.
Apa yang ada di langit dan apa yang ada di
bumi adalah milik Allah, berarti manusia dan harta bendanya adalah milik Allah.
Allah menyuruh kita berinfak dari sebagian
harta, adalah realistis, yaitu hanya 2,5%. Tidak semua hartanya yang diminta.
Kalau misal ia punya 1 juta, maka cuma 25 ribu yang diminta untuk diinfaqkan.
Tapi dasar manusia bakhil, kikir, ia tidak mau mengeluarkan.
Padahal, tidak mungkin kita semua bis mendapatkan
harta, kalau tidak atas seizing Allah. Siapakah yang memudahkan kita untuk
bekerja, menerima kita bekerja, yang menjadikan kita selamat berangkat dari
rumah ke tempat bekerja, dsbnya? Itu semua adalah karena Allah.
Kalau kita menjadi petani yang sangat kaya,
lalu siapa yang menjadikan tanaman itu bisa hidup? Allah Azza wa Jalla. Kita
hanya berusaha. Karena terbukti tidak setiap tahun dan setiap pohon bisa
berbuah, walau kita mengusahakannya sebaik mungkin.
Di QS Al Waqiyah 63-selanjutnya, kita
diingatkan:
63. Pernahkah kamu perhatikan benih yang
kamu tanam?
64. Kamukah yang menumbuhkannya ataukah
kami yang menumbuhkan?
65. Sekiranya Kami kehendaki, niscaya Kami
hancurkan sampai lumat; maka kamu akan heran tercengang.
66. (sambil berkata), "Sungguh, kami
benar-benar menderita kerugian,
67. bahkan kami tidak mendapat hasil apa
pun
An Nuur 33: Dan orang-orang yang tidak
mampu menikah, hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sampai Allah memberi
kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya. Dan jika hamba sahaya yang kamu
miliki menginginkan perjanjian (kebebasan), hendaklah kamu buat perjanjian
kepada mereka, jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka, dan berikanlah
kepada mereka sebagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu..
Di dalam An Nuur 33 ini sebenarnya adalah
tentang kepedulian kita terhadap anak2 kita, anak2 bangsa, agar jangan
terlambat dalam perkawinan. Orang tua didorong oleh Allah untuk memberikan
harta bendanya, karena harta benda itu milik Allah.
Menyandarkan kata maal kepada Allah,
menggambarkan bahwa harta itu milik Allah, dari Allah, sehingga cara
mendapatkan dan penggunaannya harus sesuai dengan aturan Allah.
Jangan sampai kita miliki kebun yang luas,
dipergunakan untuk maksiat, digunakan untuk tanggap layar tancap, untuk muda
mudi yang setelah itu tawuran atau bahkan berkhalwat, setelah itu kebunnya
habis.
Ali Imran 180: Sekali-kali janganlah
orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari
karunia-Nya menyangka, bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. Sebenarnya
kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka. Harta yang mereka bakhilkan itu akan
dikalungkan kelak di lehernya di hari kiamat. Dan kepunyaan Allah-lah segala
warisan (yang ada) di langit dan di bumi. Dan Allah mengetahui apa yang kamu
kerjakan.
Harta benda itu dari Allah, jangan mengira
itu hasil kerja kerasnya. Di tangan manusia, usaha manusia untuk mendapatkan
maal, kita semua sekedar wakil (naaib), sehingga tidak boleh semaunya saja.
Kita ini milik Allah.
Ketika manusia itu amanah, maka tidak boleh
menisbatkan harta pada diri kita. Walau secara fakta, kita yang bekerja. Kenapa
demikian? Karena yang memudahkan itu semua adalah Allah. Berbeda dengan orang
yang kufur, yang tidak mensyukuri nikmat Allah, mengatakan, ini adalah milikku.
Al Qashash 78: Qarun berkata:
"Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu, karena ilmu yang ada
padaku".
Qarun mengatakan, menisbatkan harta
bendanya dari sisinya, ‘indii..(dari sisiku).
Tidak akan sama orang yang tahu dengan
orang yang tidak tahu.
Kita harus tunduk terhadap arahan2 Allah
dalam mengembangkan harta, mendistribusikan harta, dll. Jangan sampai kita seperti
kaumnya Nabi Syuaib.
Hud 87: Mereka berkata, "Wahai
Syu'aib! Apakah shalatmu yang menyuruhmu agar kami meninggalkan apa yang
disembah nenek moyang kami atau melarang kami mengelola harta kami menurut cara
yang kami kehendaki. Sesungguhnya engkau benar-benar orang yang sangat
penyantun dan pandai."
Ketika Syuaib as memberikan arahannya
kepada kaumnya, lalu seperti itu respon kaumnya.
Hud 84-85:
84. Dan kepada (penduduk) Mad-yan (Kami
utus) saudara mereka, Syu'aib. Dia berkata, "Wahai kaumku! Sembahlah
Allah, tidak ada Tuhan yang berhak disembah bagimu selain Dia. Dan janganlah
kamu kurangi takaran dan timbangan. Sesungguhnya aku melihat kamu dalam keadaan
yang baik (makmur). Dan sesungguhnya aku khawatir kamu akan ditimpa azab pada
hari yang membinasakan (kiamat).
85. Dan wahai kaumku! Penuhilah takaran dan
timbangan dengan adil, dan janganlah kamu merugikan manusia terhadap hak-hak
mereka dan jangan kamu membuat kejahatan di bumi dengan berbuat kerusakan.
Seorang Nabi adalah seorang pemimpin, di
antara tugasnya adalah memberikan arahan2 kepada kaumnya agar sesuai dengan
aturan Allah.
Nabi Syuaib memberikan arahan, agar kaumnya
tidak curang dalam timbangan. Nabi khawatir kaumnya mendapatkan adzab dari
Allah.
Yang kita khawatirkan harusnya bukan hanya
harga2 yang naik, tapi yang harus lebih dikhawatirkan adalah jika anak
keturunan kita masuk neraka.
Kesalahan dalam system ekonomi, dalam
mendayagunakan harta, pada dasarnya tidak berbeda dengan tindakan anarkis. Tindakan
anarkis itu, bukan semata2 perbuatan fisik merusak bangunan dsbnya, tapi bisa
juga berupa tidak mengikuti aturan2 Allah, yang menyebabkan system perekonomian
yang menjadikan yang miskin semakin miskin, dan yang kaya semakin kaya.
Jangan kamu termasuk yang berbuat kerusakan
(anarkis). Kaumnya Syuaib mengira, dengan memiliki harta, mereka bisa semau
gue. Mereka katakan, ini adalah harta benda kami, jadi kami lakukan sesenang
kami. Ternyata ini bukan hanya terjadi di zaman dahulu, tapi juga zaman
sekarang. Sejarah itu pasti berulang. Solusinya, harus diperbanyak arahan2 Allah
secara massif, bukan hanya di masjid saja, tapi juga di seluruh kantor2
pemerintahan, kantor2 swasta, bahwa harta benda itu adalah milik Allah,
sehingga tidak boleh dipergunakan semau2nya.
Diberikan arahan yang kontinyu agar kita
benar dalam menyikapi harta, dan benar menggunakannya.
Aturan2 ekonomi harus sesuai dengan aturan
Allah. Jika tidak, maka akan terjadi krisis ekonomi, berpuluh2 tahun seperti
yang terjadi saat ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar